PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
MENINGKATKAN MOTIVASI DAN
KEDISIPLINAN ANAK DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TGT PADA SISWA KELOMPOK A DI TK ISLAM BAKTI 1 NGRESEP
KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Disusun Oleh:
RIRIN LISTYAWATI
K8110045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU –
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Konsep populer dari disiplin adalah sama
dengan hukuman (Kanto, 1998: 7). Menurut konsep ini, disiplin
digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang diberikan orang
tua, guru atau orang dewasa yang berwenang mengatur kehidupan bermasyarakat,
tempat anal itu tinggal. Jika kita beranggapan demikian, maka akibatya, bahwa
seorang berdisiplin yang baik adalah adalah orang yang menggunakan hukuman
untuk menghalangi perilaku yang salah atau untuk mengajar anak tentang
apa yang diterima dan yang tidak diterima oleh kelompok sosialnya. Pendisiplin
yakin bahwa semakin sosial perilaku mereka, semakin berat hukuman yang
diberikan. Cara terbaik untuk mengajar anak bersikap sesuai dengan harapan
sosial, yaitu dengan membuat perilaku yang tidak disetujui, tidak menarik
sehingga anak menghindarinya dan mengalihkan energinya ke perilaku yang
disetujui. Mereka yang berpendirian demikian, yakin hukuman badnlah akan
mencapai tujuan pendidikan.
Pendapat lain tentang disipilin menyatakan
bahwa disiplin ialah orang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti
seorang pemimpin. Anak yang berdisipilin diri dimaksudkan sebagai keteraturan
perilaku berdasarkan nilai moral yang telah mempribadi dalam dirinya tanpa
tekanan atau dorongan dari faktor eksternal. Menurut Gnagey (Shochib, 1998: 21)
menyatakan bahwa “disipilin diri anak merupakan produk disiplin”. Sementara itu
Madson (Shochib, 1998: 21) mengemukakan bahwa “kepemilikan disiplin memerlukan
proses belajar. Dan pada awal proses belajar inilah memerlukan kehadiran
orangtua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara 1) melatih, 2) membiasakan diri
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasrkan acuan moral, 3) diperlukan
juga kontrol untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini digunakan kontrol
eksternal. Kontrol yang bersonansi demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan
anak unutk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat
menci[takan dunuia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya
penghayatan bersama antara orang tua dan anak.
Kontrol internal merupakan kontrol diri
yang digunakan anak dalam mengarahkan perilakunya. Disiplin ini merupakan
perilaku yang dapat ditertanggung jawabkan karena kontrol oleh nilai-nilai
moral yang terinternalisasi.
Kemudian menurut Kamus Besar Indonesia
(1998) mengandung arti “1 tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb) 2.
Ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan, tata tertib, dsb”. Dari segi
etimologinya disiplin menurut Liang Gie (Martoenoes, 1998: 2) yaitu berasal
dari bahasa Yunani yaoitu disciple yang mengandung makna pengikut atau
penganut. Berdasarkan makna dari segi etimologi ini, disiplin diartikan sebagai
suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang bergabung dalam suatu oragnisasi
tunduk pada peraturan-peraturan.
Pada dasarnya ada beberapa metode
pembelajaran yang dapat dilakukan guru pada siswa di sekolah. Salah satu metode
tersebut adalah pembelajaran kooperatif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kooperatif?
Menurut Nurhadi (2004) pembelajaran
kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar
untuk mencapai tujuan belajar.
Menurut Ibrahim (2000) pembelajaran
kooperatif adalah suatu system yang didalamnya terdapat elemen-elemen yang
terkait. Elemen-elemen itu adalah saling tatap muka, saling ketergantugan
positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual dan ketrampilan untuk
menjalin hubungan antar pribadi atau ketrampilan sosial yang secara sengaja
diajarkan
Menurut Jacobsen, David A.; Eggen, Paul;
Kauchak, Donald (2009) pembelajaran kooperatif atau Cooperative Learning
merupakan istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang
untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antarsiswa .
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa
ciri, yaitu: (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi
langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas
belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan
keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru hanya berinteraksi
dengan kelompok saat diperlukan (Yusuf, 2003). Model pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu
hasil belajar akademik, peneriamaan terhadap individu dan pengembangan
ketrampilan sosial (Ibrahim , 2000:7)
Menurut Yamin, Martinis dan Ansari, Bansu
(2008) metode pembelajaran kooperatif learning mempunyai manfaat-manfaat yang
positif apabila diterapkan di ruang kelas. Beberapa keuntungannya antara lain:
mengajarkan siswa menjadi percaya pada guru, kemampuan untuk berfikir, mencari
informasi dari sumber lain dan belajar dari siswa lain; mendorong siswa untuk
mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya; dan
membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar dan siswa yang lemah, juga
menerima perbedaan ini .
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang ada sebagai berikut : Bagaimanakah meningkatkan motivasi dan
kedisiplinan anak dengan model pembelajaran kooperatif TGT pada siswa kelompok
A di TK Islam Bakti 1 ngresep Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali Tahun
Pelajaran 2012/2013?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian itu berupa pernyataan hipotesis sebagai jawaban atas masalah yang
dipertanyakan dalam rumusan masalah. Oleh karena itu penetapan butir-butir tujuan
suatu peelitian hendaknya sesuai dan selaras dengan butir-butir masalah
(Kusuma, 2007 : 35)
Agar
anak mampu termotivasi dan memahami konsep disiplin, sehingga mereka akan lebih
siap saat mengikuti pembelajaran.
D. Manfaat
Penelitian
Manfaat yang
dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagi guru
Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang
bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi
pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan
model pembelajaran, dan dapat mengimplementasikannya dalam kegiatan
pembelajaran.
2.
Bagi siswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara
tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang
sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka
secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan
kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang
dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa
menjadi lebih disiplin dan siap mengikuti pembelajaran di dalam maupun di luar
kelas.
3.
Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini
sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan
materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan
memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan
pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.
BAB
II
|
LANDASAN
TEORI
A.
Tinjauan
Pustaka
1. Motivasi belajar dan Disiplin Anak
a.
Karakteristik
Anak Usia Dini (Usia Prasekolah)
Anak usia prasekolah merupakan
perkembangan individu yang terjadi sekitar usia 2-6 tahun, pada usia ini anak
berusaha mengendalikan lingkungan dan mulai belajar menyesuaikan diri secara
rasional.
Usia ini juga sering disebut dengan
masa pancaroba, karena pada umumnya anak pada masa ini dorongan
keingintahuannnya sangat kuat. Diantara perkembangan-perkembangan yang terjadi
pada usia ini antara lain :
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar
bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh,
baik menyangkut ukuran berat dan tinggi, maupun kekuatannya memungkinkan anak
untuk dapat lebih mengembangkan ketrampilan fisiknya, dan eksplorasi terhadap
lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orangtuannya. Perkembangan sistem
syaraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk lebih dapat meningkatkan
pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.
b. Perkembangan Intelektual
Menurut Pieget, perkembangan
kognitif pada usia ini berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana
anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Yang dimaksud dengan
operasi adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik.
Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional, atau “symbolic
function”, yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan
(mewakili) sesuatu yang lain dengan simbol (kata-kata, bahasa gerak, dan
benda). Dapat juga dikatakan sebagai “semiotic function”, kemampuan untuk
menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda dan peristiwa)
untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata, atau peristiwa.
Melalui kemampuan di atas, anak
mampu berimajinasi atau berfantasi tentang berbagai hal. Dia dapat menggunakan
kata-kata peristiwa dan benda untuk melambangkan sesuatu.
c. Perkembangan
Emosional
Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai
menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan orang lain. Kesadaran
ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi
orang lain atau benda lain. Dia menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan
keinginan orang lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi
keinginannya.
Bersamaan dengan itu, berkembang
pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika
lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti
memperlakukan dengan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada
diri anak akan berkembang sikap-sikap: keras kepala/menentang, atau menyerah
menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu.
Beberapa emosi yang berkembang pada
masa anak, yaitu sebagai berikut:
1) Takut, 2) Cemas, 3) Marah, 4)
Cemburu, 5) Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, 6) Kasih sayang, 7) Phobi, 8)
Ingin tahu,
Perkembangan emosi yang sehat
sangat membantu bagi keberhasilan belajar anak.
d. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa anak usia
prasekolah, dapat diklasifikasikan ke dalam dua tahap yaitu sebagai berikut :
1) Masa 2,0-2,6 tahun yang bercirikan
a) Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal
yang sempurna, b) Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan. Misalnya,
anjing lebih besar dari kucing, c) Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa,
di mana, dan dari mana, d) Anak sudah banyak mengunakan kata-kata yang
berawalan dan berakhiran.
2) Masa 2,6-6,0 tahun yang bercirikan
a) Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk
beserta anak kalimatnya, b) Tingkat berfikir anak sudah lebih maju, anak banyak
menanyakan soal waktu, sebab-akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, ke
mana, mengapa, dan bagaimana.
e. Perkembangan Sosial
Pada usia
prasekolah, perkembangan sosial anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah
mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial
pada tahap ini adalah:
1) Anak mulai mengetahui
aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain, 2)
Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan,
3) Anak mulai menyadari hak atau kepentingan
orang lain, 4) Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman
sebaya (peer group).
f. Perkembangan Kepribadian
Masa ini lazim
disebut masa Trotzalter, periode perlawanan atau masa krisis ini terjadi karena
ada perubahan yang hebat dalam dirinya, yaitu dia mulai sadar akan aku-nya, dia
menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan dan orang lain. Dengan kesadaran
ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan, yaitu (aku-nya) dan
orang lain (orang tua, saudara, guru dan teman sebaya). Dia mulai menemukan
bahwa tidak semua keinginannya dipenuhi orang lain.
Pada masa ini,
berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, agar tidak berkembang sikap membandel, pihak orang tua perlu
menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras.
Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk bebas dari tuntutan orang
tua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan,
bimbingan, dan curahan kasih sayang orang tua.
g.
Perkembangan Moral
Pada masa ini anak
sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orang
tua, saudara dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang
lain. Anak akan belajar memahami tentang kegiatan atau prilaku mana yang baik/boleh/diterima
disetujui atau buruk/tidak boleh/ditolak/tidak disetujui. Berdasarkan
pengalamannya itu, maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan
mengenai bagaimana dia harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia
harus bertingkah laku.
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak prasekolah ini, sebaiknya orang tua atau guru-guru, melakukan upaya-upaya:
1) Memberikan contoh atau teladan yang baik, dalam berprilaku atau bertutur kata, 2) Menanamkan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, dan tata karma atau budi pekerti luhur, 3) Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian informasi, atau melalui cerita.
h. Perkembangan Kesadaran Beragama
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak prasekolah ini, sebaiknya orang tua atau guru-guru, melakukan upaya-upaya:
1) Memberikan contoh atau teladan yang baik, dalam berprilaku atau bertutur kata, 2) Menanamkan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, dan tata karma atau budi pekerti luhur, 3) Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik melalui pemberian informasi, atau melalui cerita.
h. Perkembangan Kesadaran Beragama
Kesadaran beragama
pada anak usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sikap keberagamaannya bersifat reprensif
(menerima) meskipun banyak bertanya, 2) Pandangan ketuhanannya bersifat
antropormorph (dipersonifikasi), 3) Penghayatan secara rohaniah masih
superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual, 4) Hal ketuhanan dipahamkan
secara ideosyncritis (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf
berfikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut
dirinya).
Pengetahuan anak
tentang agama terus berkembang berkat: mendegarkan ucapan-ucapan orang tua,
melihat sikap dan prilaku orang tua dalam mengamalkan ibadah, dan pengalaman
dan meniru ucapan dan perbuatan orang tuanya.
b. Motivasi Belajar Anak Usia Dini
“Para ahli psikologi mendefinisikan
motivasi sebagai suatu proses internal (dari dalam diri seseorang ) yang
mengaktifkan, membimbing, dan mempertahankan perilaku dalam rentang waktu
tertentu” (Baron, 1992:Schunk,1990 dalam Nur, 2003:2).
Graham & Golan, (1991) menyatakan bahwa : Motivasi
penting dalam menetukan seberapa banyak siswa akan belajar dari suatu kegiatan
pembelajaran atau seberapa banyak menyerap informasi yang disajikan kepada
mereka. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan proses
kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa itu
akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik.
“Motivasi belajar siswa merupakan faktor utama yang menentukan
keberhasilan belajarnya. Kadar motivasi ini banyak ditentukan oleh kadar
kebermaknaan bahan pelajaran dan kegiatan pembelajaranyang dimiliki oleh sisya
yang bersangkutan ”(Djamarah S.B, dkk, 1995:70)
Penulis dapat menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah
proses internal yang merupakan salah satu factor utama yang menentukan tingkat
keberhasilan belajar siswa.
“Motivasi ada dua macam yaitu motivasi yang datang dari
dalam diri anak, disebut motivasi intrinsik, dan motivasi yang diakibatkan dari
luar, disebut motivasi ekstrinsik ”(Djamarah S.B, 1997:223).
Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu
dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau
bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan
faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna
memenuhi / memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan
tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.
Peran motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar
siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin, motivasi
belajar yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi
dalam kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif
terhadap keefektifan usaha belajar siswa.
Adapun fungsi dari motivasi dalam pembelajaran
diantaranya :
1. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan,
tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan misalnya belajar.
2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya
mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya
menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan
cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Pada garis besarnya motivasi mengandung nilai-nilai
dalam pembelajaran sebagai berikut :
1. Motivasi menentukan tingkat berhasil atau gagalnya
kegiatan belajar siswa.
2. Pembelajaran yang bermotivasi pada hakikatnya adalah
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, dorongan, motif, minat yang ada pada
diri siswa.
3. Pembelajaran yang bermotivasi menuntut kreatifitas
dan imajinitas guru untuk berupaya secara sungguh-sungguh mencari cara-cara
yang relevan dan serasi guna membangkitkan dan memeliharan motivasi belajar siswa.
4. Berhasil atau gagalnya dalam membangkitkan dan
mendayagunakn motivasi dalam proses pembelajaran berkaitan dengan upaya
pembinaan disiplin kelas.
5. Penggunaan asas motivasi merupakan sesuatu yang
esensial dalam proses belajar dan pembelajaran
Dececco & Grwford, 1974 (dalam Slameto, 2003:175)
menyatakan bahwa “dalam pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa ada 4
fungsi pengajar, yaitu: menggairahkan siswa, memberikan harapan realistis,
memberikan insentif, dan mengarahkan”.
2.
Disiplin dalam Belajar Anak Usia
Dini
Disiplin adalah kepatuhan
terhadap peraturan atau tunduk pada pengawasan atau pengendalian. Kedua
disiplin yang bertujuan mengembangkan watak agar dapat mengendalikan diri, agar
berprilaku tertib dan efisien. Sedangkan disiplin menurut Djamarah
adalah "Suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pridadi
dan kelompok”. Kedisiplinan mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan
pendidikan. Berkualitas atau tidaknya belajar siswasangat dipengaruhi oleh
paktor yang paling pokok yaitu kedispilan, disamping paktor lingkungan,
baik keluarga, sekolah, kedisiplinan setra bakat siswa itu sendiri.
Belajar adalah suatu panggilan hidup karena tanpa belajar
akan mengakibatkan menurunya kualitas diri seseorang. Penjelasannya, melalui
belajarlah seseorang akan menjadi sadar akan dirinya dan lebih baik dalam
menjalani kehidupannya yang penuh warna-warni. Hanya saja untuk belajar secara
konsisten tidaklah segampang yang dikira karena membutuhkan kesadaran diri,
dimana kesadaran diri tersebut dapat termanifestasi dalam disiplin belajar.
Definisi disiplin belajar sangat banyak dari ahli-ahli pembelajaran, namun
dalam tulisan ini akan menggunakan pengertian disiplin belajar menurut penulis
sendiri. Tepatnya, disiplin belajar adalah kesadaran diri untuk mengendalikan
atau mengontrol dirinya untuk sungguh-sungguh belajar.
Berpijak pada definisi tersebut, diketahui bahwa disiplin
belajar sebenarnya suatu bentuk kesadaran diri untuk mengendalikan dirinya.
Dalam hal ini, disiplin belajar berfungsi sebagai pengendali diri yang berada
pada diri orang tersebut sehingga belajar akan penuh kesadaran, tanpa paksaan
dan penuh sukacita/bersyukur. Spesifikya yaitu orang yang berdisiplin belajar
akan belajar tanpa paksaan dan sadar untuk belajar dan belajar. Memang untuk
mengaplikasikan pengertian disiplin belajar ini tidaklah mudah tetapi tidak
berarti tidak mungkin berhasil. Karena untuk mampu disiplin dalam belajar
memerlukan suatu perenungan untuk terus bertanya pada diri mengapa saya harus
belajar hingga orang tersebut memperoleh suatu alasan yang mendalam dan memuat
spiritualitas, emosi dan kognitif mengapa harus belajar.
Fungsi
utama disiplin belajar adalah mengajar mengendalikan diri dengan mudah,
menghormati dan mentaati peraturan berkaitan dengan hal tersebut diatas
menerangkan sebagai berikut: (a) Menerapkan pengetahuan dan pengertian sosial
antara lain mengenal hak milik orang lain;. (b) Mengerti dan segera menurut
untuk menjalankan kewajiban dan merasa mengerti larangan-larangan (c) Mengerti
tingkah laku yang baik dan tidak baik (d) Belajar mengendalikan diri, keinginan
dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam oleh hukuman. e. Mengorbankan
kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain (Singgi, 1985). Jadi dalam
menanamkan pendidikan pada anak perlu menanamkan pendidikan kedisiplinan,
artinya menumbuhkan dan mengembangkan pengertian-pengertian yang berasal dari
luar yang merupakan proses untuk melatih dan mengajarkan anak bersikap dan
bertingkah laku sesuai harapan.
3.
Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
dan Disiplin Anak.
a.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Motivasi Belajar.
Belajar merupakan proses penting bagi perubahan tingkah laku
manusia yang mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan.
Keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor.
1.Faktor Internal Faktor yang mempengaruhi minat belajar
siswa yang berasal dari individu siswa itu sendiri. Menurut Sugihartono dkk, (
2007 : 76 ) faktor internal terdiri dari faktor jasmaniah dan faktor
psikologis.
Dalam penlitian ini faktor internal tersebut meliputi
kesehatan, minat dan motivasi. a. Kesehatan Menurut Slameto (2003:54), sehat
berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya, bebas dari
penyakit. Kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap belajarnya. b. Minat
Menurut Djamarah, (1994:48) minat adalah kecendrungan yang tetap untuk
memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas. Seseorang yang berminat
terhadap suatu aktuvitas akan memperhatikan aktivitas itu secara konsisten
dengan rasa senang. c. Motivasi Menurut Muhibbin (2003:137), motivasi merupakan
kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan
adanya motivasi siswa dapat mempunyai pendorong untuk belajar sehingga dapat
memiliki semangat dan minat belajar yang lebih baik. Motivasi belajar dibedakan
menjadi: 1. Motivasi instrinsik Motivasi instrinsik adalah hal dan keadaan yang
berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan
tindakan belajar. 2. Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah hal dan
keadaan yang berasal dari luar diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya
melakukan tindakan belajar.
2. Faktor Eksternal
Yaitu faktor yang mempengaruhi minat siswa dalam belajar yang berasal dari luar
individu siswa itu sendiri. Menurut Muhibbin ( 1999: 138-139 ). Sedangkan
menurut Sugihartono dkk, ( 2007 : 76 ) faktor eksternal yang berpengaruh dalam
belajar meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.
a). Lingkungan Keluarga Menurut Hakim (2000:17), faktor
lingkungan rumah atau keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam
menentukan perkembangan pendidikan seseorang, dan tentu saja faktor pertama dan
utama pula dalam menentukan minat belajar seseorang menjadi tinggi.
b). Lingkungan Sekolah Menurut Hakim (2000:18), kondisi
lingkungan sekolah yang mempengaruhi kondisi belajar antara lain adanya guru
yang baik dalam jumlah yang cukup memadai sesuai dengan jumlah bidang studi
yang ditentukan, peralatan belajar yang cukup lengkap, gedung sekolah yang
memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya proses belajar yang baik, adanya teman
yang baik, adanya keharmonisan hubungan diantara semua personil sekolah, adanya
disiplin dan tata tertib yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten.
Menurut Tu’u (2004:84), sekolah adalah wahana kegiatan dan proses pendidikan
berlangsung. Di sekolah diadakan kegiatan pendidikan, pembelajaran dan latihan.
c). Lingkungan Masyarakat. Menurut Sulistyowati
(2001:30-31), lingkungan masyarakat tidak kecil pengaruhnya terhadap minat
belajar. Ada pengaruh yang positif dan ada pengaruh yang negatif, tergantung
dari bagaimana cara menghadapinya.
b. Faktor
yang Mempengaruhi Disiplin dalam Belajar Anak.
Belajar
merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan
perilaku baik pengetahuan, sikap dan tingkah
laku kea rah kemajuan. Belajar sebagai
proses atau aktivitas diisyaratkan oleh banyak faktor. Terdapat banyak sekali faktor – faktor yang mempengaruhi belajar.
Suryabrata (1995: 249) mengklasifikasikan
faktor – factor yang mempengaruhi belajar menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa dan
faktor yang berasal dari dalam diri
siswa. Disiplin turut berpengaruh
terhadap hasil belajar. Hal ini dapat terlihat pada siswa yang memiliki disiplin yang tinggi akan belajar dengan baik
dan teratur dan akan menghasilkan prsetasi
yang baik pula. Demikian sebaliknya faktor
– faktor belajar turut berpengaruh terhadap tingkat disiplin individu. Hal ini dapat
dilihat dari penjelasan faktor – faktor yang mempengaruhi belajar, yaitu sebagai berikut :
1)
Faktor yang berasal dari luar diri siswa Faktor dari luar dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a)
Faktor non – sosial, seperti keadaan uadara, suhu udara, waktu, tempat
dan alat – alat yang dipakai untuk belajar.
Siswa yang memiliki tempat belajar yang
teratur dan memiliki buku penunjang pelajaran cenderung lebih disiplin dalam belajar. Tidak kalah pentingnya
faktor waktu, siswa yang mampu mengatur
waktu dengan baik akan belajar secara terarah dan teratur.
b)
Faktor soial, terdiri atas lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat dan lingkungan kelompok.
Siswa yang tinggal dalam lingkungan yang
tertib tentunya siswa tersebut akan menjalani tata tertib yang ada di lingkungannya. Seorang guru yang
mendidik siswa dengan disiplin akan cenderung
menghasilkan siswa yang disiplin pula.
2)
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa dibagi
menjadi dua yaitu
a).
Faktor fisiologis, yang termasuk dalam faktor fisiologis antara lain,
pendengaran, penglihatan, kesegaran jani, keletihan, kekurangan gizi, kurang tidur dan sakit yang di derita.
pendengaran, penglihatan, kesegaran jani, keletihan, kekurangan gizi, kurang tidur dan sakit yang di derita.
b).
Faktor Psikologis. Faktor psikologis yang dapat mempengaruhi proses belajar
antara lain: (1) Minat, (2) Bakat,
(3) Motivasi, (4) Konsentrasi, (5) Kemampuan
kognitif
Tujuan
belajar mencakup tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Namun kemampuan kognitif lebih
diutamakan, sehingga dalam menacapai hasil belajar faktor kemampuan kognitif
lebih diutamakan. Faktor eksternal dan
internal tersebut memiliki peranan yang sangat
penting dan sangat diperlukan daklam belajar. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses belajar, maka dituntut
adanya keseimbangan di antara keduanya.
Jika salah satu faktor tersebut ada kekurangan
akan berpengaruh pada hasil belajar yang di inginkan.
2. MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES
TOURNAMENTS ( TGT )
a. Gambaran
Mengenai Team Games Tournament (TGT)
Model
pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar
dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games
Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping
menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan
keterlibatan belajar.
` Teams
games tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries dan Keith
Edward, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam
model ini kelas terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3
sampai dengan 5 siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan
latar belakang etniknya, kemudian siswa akan bekerjasama dalam
kelompok-kelompok kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT)
hampir sama seperti STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan
sistem skor perbaikan individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik.
Dalam turnamen itu siswa bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain
yang setara dalam kinerja akademik mereka yang lalu. Nur & Wikandari (2000)
menjelaskan bahwa Teams games tournament TGT telah digunakan dalam
berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan
pembelajaranyang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar, seperti
perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan fakta-fakta serta konsep IPA.
b. Pendekatan
Kelompok Kecil dalam Teams Games Tournament
Pendekatan yang digunakan dalam
Teams games tournament adalah pendekatan secara kelompok yaitu dengan membentuk
kelompok-kelompok kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil akan
membuat siswa semakin aktif dalam pembelajaran. Ciri dari pendekatan secara
berkelompok dapat ditinjau dari segi.
1) Tujuan Pengajaran dalam Kelompok
Kecil:
Tujuan pembelajaran dalam kelompok kecil yaitu; (a) member
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara
rasional, (b) mengembangkan sikap social dan semangat bergotong royong (c)
mendinamisasikan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap kelompok
merasa memiliki tanggung jawab, dan (d) mengembangkan kemampuan kepemimpinan
dalam kelompok tersebut (Dimyati dan Mundjiono, 2006).
2) Siswa dalam Pembelajaran Kelompok
Kecil
Agar kelompok kecil dapat berperan konstruktif dan produktif
dalam pembelajaran diharapkan; (a) anggota kelompok sadar diri menjadi
anggota kelompok, (b) siswa sebagai anggota kelompok memiliki rasa tanggung
jawab, (c) setiap anggota kelompok membina hubungan yang baik dan mendorong
timbulnya semangat tim, dan (d) kelompok mewujudkan suatu kerja yang kompak
(Dimyati dan Mundjiono, 2006).
3) Guru dalam Pembelajaran Kelompok
Peranan guru dalam pembelajaran
kelompok yaitu; (a) pembentukan kelompok (c) perencanaan tugas kelompok, (d)
pelaksanaan, dan (d) evalusi hasil belajar kelompok.
c. Komponen
dan Pelaksanaan Team Game Tournament dalam Pembelajaran
Ada lima komponen utama dalam
TGT,yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru
menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran
langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian
kelas ini , siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang
diberikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja
kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok ( team )
Kelompok biasanya terdiri atas empat
sampai dengan lima orang siswa. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami
materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota
kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri atas
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat
siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan
mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab
benar pertanyaan itu akan mendapatkan skor.
4. Turnamen
Untuk
memulai turnamen masing-masing peserta mengambil nomor undian. Siswa yang
mendapatkan nomor terbesar sebagai reader 1, terbesar kedua
sebagai chalennger 1, terbesar ketiga sebagai chalenger
2, terbesar keempat sebagai chalenger 3. Dan
kalau jumlah peserta dalam kelompok itu lima orang maka yang mendapatkan nomor
terendah sebagai reader2. Reader 1 tugasnya membaca soal dan
menjawab soal pada kesempatan yang pertama. Chalenger 1 tugasnya menjawab soal
yang dibacakan oleh reader1 apabila menurut chalenger 1 jawaban reader 1 salah.
Chalenger 2 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 tadi
apabila jawaban reader 1 dan chalenger 1 menurut chalenger 2 salah. Chalenger 3
tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 apabila jawaban
reader1, chalenger 1, chalenger 2 menurut chalenger 3 salah. Reader 2 tugasnya
adalah membacakan kunci jawaban . Permainan dilanjutkan pada soal nomor dua.
Posisi peserta berubah searah jarum jam. Yang tadi menjadi chalenger 1 sekarang
menjadi reader1, chalenger 2 menjadi chalenger 1, chalenger3 menjadi chalenger
2, reader 2 menjadi chalenger 3 dan reader 1 menjadi reader2. Hal itu terus
dilakukan sebanyak jumlah soal yang disediakan guru.
5. Penghargaan
kelompok (team recognise)
Guru kemudian mengumumkan kelompok
yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila
rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan.
Kriteria ( Rerata Kelompok )
|
Predikat
|
≥ 45
|
Super Team
|
40 – 45
|
Great Team
|
30 – 40
|
Good Team
|
d. Implementasi
Model Pembelajaran TGT
Dalam pengimplementasian yang hal
yang harus diperhatikan yaitu.
1) Pembelajaran terpusat pada
siswa
2) Proses pembelajaran dengan
suasana berkompetisi
3) Pembelajaran bersifat aktif
( siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan persoalan)
4) Pembelajaran diterapkan
dengan mengelompokkan siswa menjadi tim-tim
5) Dalam kompetisi diterapkan
system point
6) Dalam kompetisi disesuaikan
dengan kemampuan siswa atau dikenal kesetaraan dalam kinerja akademik
7) Kemajuan kelompok dapak diikuti
oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang diterbitkan secara mingguan
8) Dalam pemberian bimbingan
guru mengacu pada jurnal
9) Adanya system penghargaan
bagi siswa yang memperoleh point banyak
e. Kelemahan
dan Kelebihan Model Pembelajaran TGT
Riset tentang pengaruh pembelajaran
kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran
maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar
teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran
kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan
meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran
kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.
Dari pespektif motivasional,
struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara
anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka
sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk
melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya
untuk melakukan usaha maksimal.
Sedangkan dari perspektif teori
kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan
pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi
dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para
siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka
terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi
yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan
atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi
ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah
ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan
kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang
paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.
Namun demikian, tidak ada satupun
model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap
model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses
implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara
psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama
oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka.
Dalam hal ini, pembelajaran
kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam
implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis
bagi siswa.
Slavin (2008), melaporkan beberapa
laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap
pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan
kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
·
Para
siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara
signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada
dalam kelas tradisional.
·
Meningkatkan
perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja
dan bukannya pada keberuntungan.
·
TGT
meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri
akademik mereka.
·
TGT
meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan
nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
·
Keterlibatan
siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih
banyak.
·
TGT
meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan
emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.
Sebuah catatan yang harus
diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok
tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus
merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar
siswa secara individual.
Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran
TGT Metode pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT) ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana (2000:10) dalam Istiqomah
(2006), yang merupakan kelebihan dari pembelajaran TGT antara lain:
1) Lebih meningkatkan pencurahan
waktu untuk tugas, 2) Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu, 3)
Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam, 4) Proses belajar
mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa, 5) Mendidik siswa untuk
berlatih bersosialisasi dengan orang lain, 6) Motivasi belajar lebih tinggi, 7)
Hasil belajar lebih baik, 8)Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Sedangkan
kelemahan TGT adalah:
1.
Bagi
Guru
Sulitnya pengelompokan siswa yang
mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat
diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam
menentukan pembagian kelompok waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa
cukup banyak sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat
diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh.
2.
Bagi
Siswa
Masih adanya siswa berkemampuan
tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa
yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan
pengetahuannya kepada siswa yang lain.
B. Kerangka
Berpikir
1.
Penerapan Model Kooperatif TGT
Secara garis besar, komponen utama
dalam penerapan model kooperatif tipe TGT terdiri dari Penyajian kelas,
Kelompok ( team ), game, turnamen, dan Penghargaan kelompok (team recognise).
Pembelajaran kooperatif juga harus didukung oleh langkah-langkah dan
keterampilan yang melengkapinya. Langkah utama dalam pembelajaran kooperatif
menurut Arends (dalam Karuru 2001) ada enam fase. Keenam fase pembelajaran
kooperatif dirangkum pada Tabel 2.1 berikut ini:
Fase
|
Tingkah laku
guru
|
Fase-1
Menyampaikan
tujuan dan motivasi
|
Guru
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase-2
Menyajikan
informasi
|
Guru
menyampaikan informasi pada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan.
|
Fase-3
Mengorganisasikan
siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok-kelompok
belajar dan membentu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
|
Fase-4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Guru
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
|
Fase-5
Evaluasi
|
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Fase-6
Memberikan
penghargaan
|
Guru mencari
cara menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok
|
2.
Dampak Penerapan Model Kooperatif
Tipe TGT Terhadap Motivasi dan Disiplin Anak.
Dengan model pembelajaran TGT (
Teams Games Tournaments ) dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.
Karena siswa dapat belajar lebih rileks, serta dapat menumbuhkan tanggung
jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Dengan
model pembelajaran TGT ( Teams Games Tournaments ) dapat menambah wawasan
tentang berbagai model pembelajaran serta dapat meningkatkan kompetensi guru. Motivasi
dan disiplin dalam belajar anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor keluarga, faktor sekolah, fator lingkungan dan faktor
pengalaman anak. Motivasi belajar dan disiplin merupakan kemampuan seseorang
untuk mempersiapkan diri menjadi lebih baik dan dapat diterima oleh lingkungan
tempatnya berada.
Penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT dilaksanakan untuk dapat meningkatkan
motivasi dan disiplin dalam belajar anak, karena dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT anak belajar secara kelompok dan menyenangkan dengan
berbagai permainan atau game akan memotivasi anak untuk mencapai hasil belajar
yang maksimal. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan disiplin anak. Adapun langkah –
langkah tindakan tertera pada Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Tindakan
Dalam penelitian ini dapat
dirumuskan hipotesis yaitu jika melalui model pembelajaran tipe TGT, motivasi
dan disiplin siswa dalam belajar pada kelompok A Di Taman Kanak
– Kanak Islam Bakti 1 Ngresep Boyolali
akan meningkat.
2 komentar:
terimakasih.. sangat membantu. mau tanya, mbak punya dalam bentuk jurnalnya juga ga ya?
terimakasih.. sangat membantu. mau tanya, mbak punya dalam bentuk jurnalnya juga ga ya?
Posting Komentar