PERILAKU BERBOHONG PADA ANAK USIA
DINI
Tugas
ini untuk melengkapi tugas mata kuliah Pengembangan Perilaku Anak Usia Dini
dengan dosen pengampu Muh. Munif, S. PdI., M. A.
Disusun Oleh :
RIRIN
LISTYAWATI
K8110045
PENDIDIKAN
GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Perilaku
berbohong adalah satu bentuk ketidakjujuran, kecurangan dalam bentuk
pernyataan/perbuatan yang tidak dapat dipercaya, biasanya diiringi dengan niat
untuk menjaga suatu rahasia atau reputasi, melindungi perasaan individu
tertentu, menghindari hukuman atau konsekuensi dari suatu tindakan (Mahon, J.
E., 2008).
Pada dasarnya,
anak berbohong dengan alasan yang berbeda-beda, sama dengan orang dewasa ketika
berbohong. Yakni untuk menghindari hukuman karena mengelakkan tanggung jawab,
melindungi teman, agar dipuji, ada untuk melindungi hal-hal yang sifatnya
pribadi. Khususnya pada anak usia dini, mereka berbohong dengan alasan yang
sifatnya kekanak-kanakan, seperti menguji kemampuan menghindar dari amarah
orang tua, bagian dari imajinasi atau memang benar-benar suka membuat cerita.
Jadi, untuk
kondisi tertentu, berbohong ternyata dibutuhkan, dalam rangka membuat individu
tetap survive. Sebab sesungguhnya perilaku berbohong adalah human nature, dapat
kita hindari namun butuh effort tidak sederhana untuk meniadakannya sama
sekali.
b) Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Elemen
apa saja yang mempengaruhi perilaku berbohong anak usia dini?
2. Bagaimana
anak usia dini dapat berperilaku bohong?
3. Bagaimana
Hubungan kepercayaan dan Kejujuran dalm perilaku kebohongan anak usia dini.
4. Apa
yang dimaksud dengan Kebohongan Putih anak usia dini?
c) Tujuan
Penyusunan
paper ini adalah:
1. Untuk
memenuhi tugas Uji Kompetensi 4 Mata Kuliah Pengembangan perilaku Anak Usia
Dini.
2. Untuk
mengetahui dan mempelajari perilaku bohong sejak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Elemen perilaku berbohong anak usia
dini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Minghui Gao dalam review
jurnal internasional “Elements Affecting Children’s Moral
Judgment of Lying: A Review”. 14
Elemen yang ditemukan tersebut berhubungan dengan salah satu dari empat
kategori yang luas, termasuk kebohongan itu sendiri, pelaku, target, dan subjek
penelitian. Secara khusus, perbedaan dalam penilaian moral anak-anak berbohong,
berakar pada variasi unsur-unsur
kebohongan (yaitu, kemungkinan pesan, kepercayaan, dan konsekuensi),
kebohongan-kasir (niat, status perbedaan dan pendudukan), target (termasuk
perbedaan status dan sosial kaki), dan subjek penelitian (usia, jenis kelamin,
perbedaan sosial-budaya, kelompok vs individu, latar belakang pendidikan dan Pribadi
moralitas, dan kelompok sosial).
Menurut riset yang
dilakukan Dr. Victoria Talwar (Kidder, Good Kids, Tough Choices, p. 10) menyebutkan bahwa
anak sudah mulai bisa berbohong umur 3 tahun, dan ketika tidak diintervensi
sejak awal mereka akan mulai sering berbohong di umur 4 tahun. Tapi, menurut riset yang sama, di usia
8 tahunan anak yang tidak diintervensi sudah mahir berbohong dan menutupi
jejaknya. . Sebagai orang tua,ataupu guru, kita
perlu menanamkan arti penting kejujuran. “Semua anak terkadang berbohong,” kata
psikolog klinis Richard Gallagher, PhD, direktur Parenting Institute di the New
York University Child Study Center. “Faktanya, berbohong itu normal dalam
tahapan perkembangan anak.” Namun bukan berarti kita dapat mengacuhkan begitu
saja perilaku tersebut. “Orang tua perlu mengajarkan kejujuran,” kata Joseph Di
Prisco, PhD, co-author Right from Wrong: Instilling a Sense of Integrity in Your Child.
“Jika Anda mendapati anak berbohong, maknai hal itu sebagai kesempatan
membicarakan arti penting kejujuran.”
Sebelum menanamkan nilai kejujuran, akan sangat membantu
bila kita mengerti alasan anak berbohong, serta pergeseran alasan seiring
dengan pertambahan usia anak. Dalam tahapan perkembangannya, anak memiliki
motif berbohong yang berbeda, diantaranya :
1.
Usia prasekolah: Pada usia ini, anak di kenal
sebagai seorang Pembual besar.Kebohongan umum yang dilakukan anak adalah
sebatas khayalan dengan mengatakan “Monster
menumpahkan susu saya.” Atau “Saya bisa
melakukan 100 kali salto dalam satu putaran!” kepada temannya untuk mendapatkan
penerimaan social yang baik dari lingkungannya. “Anak usia prasekolah masih
terlalu kecil untuk memahami arti kebohongan,” kata Dr. Gallagher. “Mereka
tanpa sadar membelokkan kenyataan. Mereka suka mengarang dan melebih-lebihkan
cerita, namun hal itu adalah bentuk ekspresi imajinasi yang sangat kaya, bukan
kebohongan.” Seringkali anak usia 3-4 tahun kesulitan membedakan khayalan dan
kenyataan ataupun kebohongan.
“Dilihat dari tahap perkembangan, mereka belum cukup
dewasa untuk menyadari bahwa sebuah kejadian tidak selalu sesuai dengan apa
yang mereka inginkan,” kata Dr. Gallagher. Karena itu balita bisa memegang
gelas kosong, tumpahan susu di pangkuannya, dan mengatakan monster telah
menumpahkan susu dari gelas. Itu berarti ia berharap bukan dia yang menumpahkan
susu karena hal itu bisa memancing kemarahan Anda. Dalam pikirannya, karena ia
tidak sengaja maka bukan dia pelakunya. Dan dengan daya ingat yang terbatas,
mereka cepat lupa akan hal-hal yang mereka lakukan (mungkin itulah penjelasan
“amnesia” Sarah terhadap kejadian melukis di dinding menggunakan lipstik).
2.
Kebohongan umum (5-7 tahun): Pada usia ini
anak melakukan kebohongan hanya sebagai Taktik untuk Menutupi kesalahan. Misalnya saat anak mengatakan “Aku sudah selesai mengerjakan PR
matematika.” Padahal dia mengatakan itu hanya sebagai alas an untuk menutupi
kesalahan. Ataupun saat dia berkata “Dia memukul saya lebih dulu.” Padahal
itupun hanya kebohongan agar dia selamat dari hukuman. Pada awal usia sekolah,
anak berbohong untuk melarikan diri dari tanggung jawab atau hukuman. Tapi
mungkin juga mereka berbohong untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan
(jam tidur lebih larut atau izin menonton acara televisi), atau bisa saja
mereka berbohong agar Anda tidak kecewa, kata Dr. Di Prisco. Jika anak merasa
Anda akan kecewa karena ia tidak belajar mengeja dengan benar, besar
kemungkinan ia berbohong seputar hasil ujian membaca hari itu. Dan ketika peran
teman semakin besar, anak yang merasa dijauhi akan mengutarakan kebohongan demi
menaikkan reputasi, “Ibuku akan menjadi juri American Idol tahun
depan.”
”Memasuki usia 6 atau 7 tahun, anak mulai menangkap bahwa
terkadang kejujuran bisa menyakiti perasaan orang lain. Anak perlu dibimbing
untuk menjaga kesopanan sembari tetap berkata jujur. Jika ia tidak menyukai
hadiah pemberian kerabat, ia bisa berkata, “Terima kasih karena ingat ulang
tahunku.” “Anak-anak menunjukkan pemahaman menakjubkan bahwa kadang kala
kebohongan bisa menjaga hubungan pertemanan,” kata Dr. Gamble. Ketika Dr.
Gamble meneliti seputar kebohongan di kalangan anak sekolah, dia menyimpulkan
bahwa sejak usia 6 tahun anak mengerti konsep “kebohongan sosial” yang dipakai
untuk melindungi atau membantu sesama teman. Sebagai contoh, kebanyakan anak tidak
memberi tahu keberadaan teman yang sedang dicari “preman sekolah” meskipun ia
mengetahui keberadaan si teman. Tergantung pada Anda untuk mengajarkan
perbedaan antara white lie dan
kebohongan demi menutupi kesalahan.
3.
Kebohongan umum (8 tahun ke atas). Anak
melakukan kebohongan ini semata untuk mendapatkan kepuasan diri. Anak
mengatakan “Aku
tidak punya PR hari ini.” Atau “Papa
mengajak aku nonton sepakbola.”Mungkin hanya untuk mendapatkan pengakuan social
di lingkungannya. Pada usia ini,
kebohongan anak lebih terencana. Besar kemungkinan ia sengaja “lupa” mengatakan
suatu hal kepada Anda atau melewatkan beberapa detail cerita. Secara teknis,
dia tidak punya PR melainkan ulangan matematika. Selain itu, teman dan status
sosial sangat penting bagi dia, maka jangan heran jika ia berbohong untuk
membuat kagum teman sekelas atau demi mendapat sesuatu yang ia inginkan.
Seiring pertambahan usia, anak juga seringkali berbohong untuk menjaga privasi
dan mencari kebebasan.
Adapun bentuk-bentuk kebohongan yang seringkali
ditemukan pada anak antara lain:
1.
Penyangkalan sederhana
Misalnya : anak
mengaku sudah minum padahal belum. Mengatakan sudah mandi padahal belum mandi.
2.
Mengurangi atau melebihkan
Misalnya: anak
menceritakan kehebatan ibu gurunya secara berlebihan, “Ibu guruku bisa membuat
robot sebesar rumah dan robot itu bisa bicara.” Padahal, ibu gurunya hanya
membuat robot-robotan dan yang berbicara adalah gurunya.
3.
Mengarang
Misalnya: anak
bercerita kepada temannya bahwa ia sudah sering naik pesawat terbang ke luar
negeri padahal ia belum pernah melakukannya.
4.
Membuat tuduhan palsu
Misalnya: anak
memecahkan gelas tetapi ia mengatakan bahwa yang memecahkan gelas itu adalah
adiknya.
Selain itu, beberapa sumber dan penelitian
mengatakan, banyak faktor dan alasan yang membuat anak berkata bohong.
Diantaranya,
1. Takut
Disalahkan
Anak berbohong dapat disebabkan karena ia memiliki
pengalaman buruk tentang menghadapi kesalahan. Jika anak pernah dipojokkan dan
merasa “terhukum” ketika bersalah, anak akan memilih opsi berbohong untuk
menghindari hukuman, tanggung jawab, atau takut disalahkan.
2. Terlihat
Lebih Hebat
Alasan lain ketika anak berbohong, ia ingin terlihat
lebih hebat dari yang sebenarnya dan ini terjadi pada anak yang sering
dibandingkan dengan anak yang lain. Rasa kurang percaya diri membuat anak
bereaksi ingin mencitrakan dirinya lebih dari yang ia miliki sekarang. Apalagi
jika ia berada di lingkungan peer (kelompok sosial) yang hebat.
3. Merasa
Tidak Punya Pilihan
Pada pola asuh yang kontrolnya terlalu kuat atau
orangtua otoriter, anak selalu berpikir kesalahan adalah sesuatu yang tidak
terampuni. Ketika melakukan kesalahan, anak pun menjadi selalu dibayangi
ketakutan akan risiko kesalahan.
4. Tidak
Ingin Kecewa
Bila orangtua senantiasa menanamkan ekspektasi yang
tinggi, anak bisa saja berbohong ketika bereaksi terhadap masalah semata-mata
karena tak ingin orangtuanya kecewa.
5. Tidak
Dihargai
Prinsip
orangtua yang hanya memedulikan hasil dan tidak mempertimbangkan proses ini
membuat anak berbohong ketika ia merasa tidak mendapat reward yang cukup.
http://tkpertiwipaninggaran.blogspot.com/2012/07/pentingnya-pembentukan-perilaku-jujur.html
B. Mengamati perilaku bohong anak usia
dini
Menurut penelitian yang dilakukan Victoria Talwar
and Kang Lee yang di terbitkan dalam jurnal internasional berjudul “Development
of lying to conceal a transgression:Children’s control of expressive behaviour
during verbal deception“ yang melakukan 2 eksperimen pada anak usia 3-7
tahun dalam perilaku berbohong.
Percobaan di lakukan pada anak-anak yang ditinggalkan sendirian di kamar
dengan godaan berupa mainan music yang ditempatkan di belakang mereka.
Anak-anak diberitahu untuk tidak mengintip mainan yang dibelakang mereka.
Kebanyakan anak-anak tidak bisa menolak godaan dan mengintip mainan
dibelakangnya.. Ketika ketahuan bergerak dan mereka di tanya “apakah mereka
mengintip?” , sekitar setengah dari mereka yang berusia 3 tahun mengakui bahwa
mereka telah mengintip, sedangkan kebanyakan anak-anak yang berusia 3 tahun
lebih akan berkata bohong atau mengaku tidak mengintip alat music tersebut.
Orang – orang dewasa (sarjana, siswa, atau orang tua) diminta sebagai evaluator
untuk mengamati mimic wajah anak dan membedakan apakah yang mereka katakana itu
bohong atau tidak. Dan kebanyakan dari mereka berpendapat susah untuk
membedakan suatu kebohongan atau tidak dari ekspresi wajah anak – anak. Tapi
dari hasil gabungan penelitian berdasarkan usia anak, anak – anak dibawah usia
8 tahun tidak sepenuhnya terampil untuk berbohong secara lisan maupun non lisan
(ekspresi).
Saat bicara beberapa organ tubuh seseorang kadang
berekspresi secera reflek. Menariknya, ada yang mengekspresikan kebohongan. Ekspresi
tubuh yang terjadi saat seseorang berbicara, merupakan gerakan dan isyarat
spontan yang terkadang bisa terjadi di luar kontrol kesaradarannya. Sementara
ekspresi yang berupa gerakan-gerakan halus dan isyarat-isyarat kecil dibagian
tubuh yang tertentu ini, selain berfungsi sebagai ungkapan pelengkap dan
penjelas maksud dari penyampaian kata-kata yang dituturkan, juga diantaranya,
konon ada yang sedemikian rupa terjadi sebagai ungkapan reaksi serta upaya
untuk menutupi perasaan emosi tertentu saat seseorang itu berbicara.
Entah itu jujur, pura-pura, bohong, atau ada
niatan-niatan menipu, lewat gerakan-gerakan isyarat yang biasanya diekspresikan
melalui mulut, mata, kepala, bahu dan tangan. Bila diamati, ternyata tersimpan
gambaran perasaan yang sebenarnya.
Saat seseorang mencoba berbohong, misalnya,
gerakan-gerakan ekspresi yang konon dapat terjadi lebih dari upaya kesadaran
untuk menutupinya. Biasanya, ekspresinya tampal lebih jelas ketimbang biasanya.
Untuk mengenali lebih jauh lagi tentang ekspresi
tubuh yang biasanya dilakukan saat seseorang mencoba berbohong, berikut ini
adalah ekspresi bahasa tubuh yang mengindikasikan kebohongan yang semoga dapat
mendekati kebenarannya.
1.
Gerakan tangan menutup mulut: Biar
bagaimanapun, kebohongan merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan
oleh seseorang. Karenanya, meskipun hal itu sering terjadi, upaya menutupinya
biasanya segera dilakukan. Dan gerakan spontan menutup mulut dengan kedua
tangan adalah merupakan ekspresi yang paling mudah untuk menutupinya. Ekspresi
seperti ini, biasanya akan lebih napak dilakukan oleh seorang anak.
2.
Jari tangan menyentuh mulut: Karena
sesuatu alasan, kebohongan biasa terjadi. Agar hal tersebut tidak dikenali
orang, maka gerakan spontan untuk menyamarkannyapun segera dilakukan. Seorang
dewasa akan bereaksi menyentuh mulutnya dengan jari tangan, setelah berita
bohong dituturkannya.
3.
Gerakan tangan menyentuh hidung: Agar
segala pembicaraanya dipercaya orang, atau guna mengelabuhi lawan bicaranya
agar tidak bisa mengenali reaksi mulut dan wajahnya yang telah berbohong,
biasanya, seseorang akan bereaksi menyentuh hidungnya sendiri manakala ia
selesai berbicara.
4.
Usapan tangan pada mata: Getaran-getaran
halus, konon akan bisa dirasakan seseorang yang tenagh berbohong pada
bagian-bagian organ tubuh tertentu. Semakin banyak kebohongan yang
dituturkannya, maka akan semakin keras juga getaran yang dirasakannya. Dan
organ mata merupakan bagian yang paling peka yang akan berealsi manakala
kebohongan itu dituturkannya. Karenanya, usapan-usapan halus terkadang suka
dilakukan oleh seseorang yang tengah berbohong itu.
5.
Pandangan mata melihat ke bawah: Karna
adanya semacam desakan penolakan dari perasaan batin, yang sebenarnya lebih
menghendaki berkata jujur, seseorang yang terlanjur melakukan kebohongan,
diantaranya ada yang bereaksi denga tidak mau secara langsung memandang lawan
bicaranya. Andai ia seorang lelaki, maka disaat-saat dirinya menyampaikan
kebohongan itu, pandangannya lebih condong menatap kebawah.
6.
Pandangan ke langit-langit: Perasaan
seorang wanita, dikenal lebih halus daripada seorang lelaki. Karenanya,
kebanyakan dari mereka konon lebih banyak berlaku jujur. Namun sikap mereka
manakala toh terpaksa berbuat kebohongan, biasanya akan bereaksi dengan lebih
banyak menghindari pandanganmatanya. Ekspresi yang dilakukannya, biasanya, ia
akan lebih suka memandang ke atas.
7.
Sentuhan pada daun telinga: Saat
seseorang menyampaikan atau menerima kabar tentang sesuatu, daun telinga
merupakan salah satu organ yang digambarkan dapat paling sepat bereaksi.
Begitupun saat berbohong. Getaran dan perasaan seperti ada hawa panas yang
menyengat, terkadang dapat terasa mengusiknya. Sehingga sebuah sentuhan atau
gerakan halus terkadang mesti dilakukan oleh seseorang yang tengah berbohong.
8.
Menggaruk leher: Disamping mata dan
telinga yang seketika terasa gatal dan panas, saat mulut meluncurkan kalimat-kalimat
dusta, bagian leher juga terkadang bereaksi yang sama. Terutama jika kalimat
dustanya benar-benar ingin dipercayai oleh lawan bicaranya. Maka garukan “tidak
gatal” pun spontan dilakukan oleh sebelah tangannya.
9.
Menarik-narik kerah baju: Tingkah laku
dan ekspresi-ekspresi tidak menetu, terkadang sering dilakukan oleh seseorang
yang tengah berbohong. Entah ungkpan reaksi ketidaksetujuan atau upaya-upaya
menutupinya agar tidak dikenali orang, terkadang orang-orang yang menyadari
dirinya telah berbohong suka melakukannya. Terjadinya getaran-getaran disekitar
leher dan dahi. Dan pada saat seseorang melakukan kebohongan, maka ia tak bisa
mencegah timbulnya tingkah laku dan ekspresi yang tidak menentu. Seperti
menarik-narik kerah baju, mengusap-usap bagian leher atau berupaya memasukkan
hawa-hawa segar ke bagian leher, yang konon sangat dirasakan panasnya saat itu.
10. Menyembunyikan
tangan ke belakang: Ibarat seseorang yang tengah melakukan kesalahan besar,
reaksi-reaksi samar dan spontan, biasanya akan dicoba dilakukan oleh seseorang
yang sudah terlanjur melakukan kebohongan itu. Dan agar kebohongan itu tidak
dikenali, maka upaya menyembunyikannyapun pasti akan dilakukan dengan serapih
mungkin. Seperti dengan mencoba menyembunyikan kedua tangannya. Dan seseorang
yang telah berbohong, biasanya juga berani meluncurkan kalimat-kalimat sumpah
yang intinya seolah hendak menunjukkan “kejujurannya” dan menurut agama,
berbohong adalah menunjukkan sifat kemunafikan seseorang. Karenanya,
hindarilah!
C. Hubungan kepercayaan dan Kejujuran
dalm perilaku kebohongan anak
(Pic Courtesy by Wall Street Journal Blog),
Terkadang anak memiliki imajinasi khayal yang menguasai benak kognitifnya
sehingga apa yang dia bayangkan dianggap sebagai sebuah kejadian yang nyata.
Hal ini mesti tidak dikategorikan sebagai kebohongan yang disengaja, harus ada
tindak lanjut secara bijak, dengan kelemah lembutan serta memberikan penanaman
definisi secara jelas kepada anak apa yang dinamakan dengan “kebenaran”,
“fakta” dan “kejujuran” dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Lain
halnya bila anak berbohong dikarenakan keterpaksaan, keinginan besar yang
membujuknya berbohong atau mungkin lebih parah, dikarenakan kebiasaan yang
akut.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh en Xu1,
Angela D. Evans2, Chunxia Li, Qinggong Li, Gail Heyman and Kang Lee, yang di
terbitkan dalam jurnal internasional berjudul
“The role of honesty and benevolence in children’s judgments of
trustworthiness” menyatakan bahwa setidaknya 7 tahun seterusnya,
anak-anak memiliki bernuansa pemahaman tentang hubungan antara kejujuran dan
kepercayaan.
“Kejujuran
adalah dasar dari komunikasi yang efektif dan hubungan yang sehat” (Kelly,
2003/2005). Ini membuktikan bahwa kejujuran sangat penting, supaya hubungan
anak dan keluarga dapat terjalin dengan harmonis. Kejujuran juga akan
menciptakan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dan akan terciptanya
rasa kepercayaan. Anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap
ransangan-ransangan yang berasal dari lingkungan luar. Dengan demikian, pada
masa anak sangat ideal untuk orang tua menanamkan nilai kejujuran pada
anak-anaknya.
Mengembangkan nilai kejujuran pada anak, orang tua
dan guru sangat berperan penting. Orang tua dan guru adalah orang yang paling
dekat dan paling mempengaruhi pertumbuhan anak.
Peran orang tua. Peran orang tua dalam keluarga sangat penting dalam
mengembangkan atau meningkatkan nilai kejujuran. “Seluruh etika kejujuran dan
integritas dimulai sejak dini” (Kelly, 2003/2005). Oleh karena itu, peran orang
tua dalam mengembangkan nilai kejujuran pada anak sejak usia dini sangat
penting dan itu akan mempengaruhi sikapnya pada usia remaja bahkan hingga
dewasa. Selain dapat meningkatkan nilai kejujuran, anak juga akan memiliki
integritas yang tinggi dalam hidupnya. Orang tua harus menerapkan kejujuran
dalam lingkungan keluarga dan harus memberi contoh atau panutan terhadap
anak-anak mereka. Dengan demikian anak akan bertumbuh dengan nilai kejujuran
yang tinggi dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar.
Peran guru.
Peran guru di sekolah juga penting dalam mengembangkan nilai kejujuran
pada anak sejak usia dini. Misalnya memberi sanksi terhadap murid yang
bertindak tidak jujur saat ujian berlangsung. Dengan demikian dapat melatih
anak untuk disiplin dan bertindak jujur. Anak tahu kalau berlaku tidak jujur
akan merugikan dirinya sendiri. Guru juga dapat memberikan ajaran-ajaran
mengenai arti dan manfaat kejujuran kepada anak murid.
Mendidik anak untuk selalu bersikap jujur pasti
muncul kendala-kendala yang menghambat anak untuk bersikap jujur. Tidak sedikit
kendala yang akan dialami oleh orang tua. Kendala-kendala itu dapat dibagi
menjadi kendala internal dan kendala ekternal.
Kendala internal yaitu kendala yang berasal dari
dalam diri pribadi anak. Kendala-kendala itu dapat berupa sikap anak yang tidak
mau dididik atau sikap melawan terhadap orang tua. Perilaku anak yang berbohong
juga dapat dilakukan anak dengan cara menambah atau mengurangi kata yang
sebenarnya terjadi. Itu dilakukan karena anak ingin merasa aman atau melindungi
diri dari ancaman.
Kendala eksternal yaitu kendala yang berasal dari
luar diri pribadi anak. Kendala-kendala itu dapat berupa cara orang tua
mendidik anak dengan keras atau orang tua yang tidak memberikan contoh yang
baik kepada anak. Misalnya orang tua suka berkata tidak jujur atau berbohong
kepada anak, sehingga anak juga menjadi terbiasa untuk berbohong. Jika orang
tua mengetahui anaknya berbohong, hendaknya orang tua tidak memarahi atau
menghukum anak, tetapi orang tua menasehati anak bahwa kebohongan itu tidak
baik.
Kejujuran sangat berkaitan dengan kepercayaan. Dalam
hubungan apapun, kejujuran dan kepercayaan sulit bahkan tidak bisa dipisahkan.
Sebuah kejujuran dapat menimbulkan rasa kepercayaan, demikian pula kepercayaan
biasanya lahir dari adanya kejujuran. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua
sudah menanamkan nilai kejujuran pada anak sejak usia dini untuk menciptakan
hubungan keluarga yang harmonis dan membuat anak bertumbuh menjadi pribadi yang
bertanggung jawab.
D. “Kebohongan Putih” anak usia dini.
Untuk cadangan perasaan penerima dan menumbuhkan
hubungan sosial damai, kebohongan prososial diharapkan. Menurut (DePaulo & Bell, 1996; DePaulo &
Kashy, 1998) dalam Penelitian “White
lie-telling in children for politeness purposes”, sampai saat ini
menunjukkan bahwa kebohongan putih adalah bentuk umum dari kebohongan yang
diberitahukan oleh orang dewasa untuk menjaga hubungan sosial (DePaulo &
Jordan, 1982; DePaulo & Kashy, 1998). Meskipun penelitian yang luas pada
anak-anak yang berbohong untuk menyembunyikan pelanggaran atau untuk
memenangkan kompetisi (Chandler, Fritz, & Hala, 1989; Feldman, Jenkins,
& Popoola, 1979; Lewis, Stanger, & Sullivan, 1989; Peskin, 1992; Polak
& Harris, 1999; Talwar & Lee, 2002a), sedikit yang diketahui tentang
perilaku anak-anak yang berbohong dalam
situasi kesopanan. Dengan demikian, belajar kebohongan putih-telling tidak
hanya akan memungkinkan kami untuk membentuk sebuah gambaran yang lebih
komprehensif pengembangan penipuan verbal, tetapi juga asa.
Seringkali, orangtua menemui kesulitan saat harus
mengatakan kebenaran pada anak. Itu sebabnya, sadar atau tidak sadar, orangtua
sering melontarkan ‘bohong putih’. Ada sebuah ilustrasi contoh kebohongan
putih, yaitu Thia (6 tahun) sering diejek teman-temannya dengan sebutan
‘gendut’. Vani, sang mama, selalu menghibur Thia dengan mengatakan bahwa Thia
tidak gemuk dan meyakinkan anaknya bahwa teman-temannya salah. Ketika masuk SD,
Thia baru tahu bahwa selama ini mamanya telah membohonginya soal konsep gemuk dan
kurus. Thia pun merasa kecewa pada sang mama. 'Bohong putih' sering diartikan
para orang tua sebagai kebohongan untuk tujuan baik anak. Dalam hal ini, untuk
menyederhanakan masalah atau melindungi kepolosan anak yang belum cukup umur
mengerti topik pembicaraan tertentu.
Meski banyak orang menganggap 'berbohong putih' yang
dilakukan sesekali tidak apa-apa, namun dari sisi psikologi perkembangan anak,
'berbohong putih' tetaplah suatu kebohongan yang bisa berdampak negatif bagi
anak. Iya, tapi jangan harap anak usia
prasekolah bisa mengerti konsep white lie. “Anak kecil memaknai segala ucapan
apa adanya dan cepat menangkap kebohongan,” kata Dr. Richard Gallagher. “Jika
Anda mengklaim, ‘Keluarga kami tidak pernah berbohong!’ namun mengatakan
kepadanya yang baru berusia 4 tahun, ‘Bilang ke Tante Susie, kamu suka hadiah
pemberiannya,’ ia akan bingung. Dan ia akan mengingat perkataan Anda.
Tidak ada yang dinamakan dengan bohong putih
dikarenakan nilai kebohongan sama dengan tidak memberitahukan kebenaran yang sesungguhnya.
Belajar menerima kondisi kebenaran dengan apa adanya walau sangat tidak nyaman
dan sakit, justru harus diberdayakan dalam pendidikan keluarga.
Kondisi masyarakat yang ketat dan nilai-nilai di
dunia luar harus disiapkan sedini mungkin kepada anak terkasih kita untuk
mempersiapkan anak dalam kondisi yang terbaik untuk bertahan hidup dan sukses
di masyarakat terutama dalam nilai reputasi dan nilai kejujuran anak. Kejujuran
akan membuka semua jalan hidup anak dalam area yang anda tidak akan pernah duga
sebelumnya.
BAB III
SIMPULAN
A. KESIMPULAN
Kebohongan adalah pesan yang disampaikan oleh
presentasi lisan atau tulisan, dengan maksud untuk memberikan informasi yang
salah. Kebohongan dapat diidentifikasi berdasarkan pada tiga unsur semantik
berbohong, yaitu (a) pernyataan faktual palsu, (b) pembicara percaya bahwa
pernyataan tersebut adalah palsu, dan (c) pembicara bermaksud untuk menipu
pendengar (Lee dan Ross , 1997). Gervais et al. (2000) menemukan bahwa sering
pembohong menunjukkan perilaku yang lebih mengganggu, seperti berkelahi,
menggigit, dan bullying, dibandingkan anak-anak yang tidak sering berbohong.
Anak-anak menganggap berbohong baik untuk menjadi prososial atau antisosial di
alam (Lee et al., 1997). Mereka juga cenderung untuk berbohong dalam kondisi
naturalistik (Newton et al., 2003). Meskipun para guru sering mengajar
anak-anak dalam moral yang tepat dan pertimbangan nilai, anak-anak masih
berbohong dengan pembenaran berusaha untuk tetap "keluar dari
masalah" atau karena mereka hanya "kebohongan putih" (Kelley et
al., 2005).
Anak-anak kecil dapat mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual ketika mengkategorikan laporan tidak benar (Siegal, Surian,
Nemeroff dan Peterson, 2000), dan mengakui bahwa niat berbicara bohong
tergantung pada konteks komunikatif (Peterson, Peterson dan Seeto, 1983;
Wimmer, Gruber dan Perner, 1984). Anak-anak dapat menemukan beberapa petunjuk
dalam sebuah pernyataan atau reaksi emosional, seperti menatap, gugup, gerakan
lidah yang aneh, dan perilaku lainnya pada speaker. Pemahaman mereka tampaknya
berkembang dengan usia (Xu, Luo, Fu dan Lee, 2009). Orang sering menganggap
jawaban yang salah sebagai kebohongan ketika mereka tidak bisa mengerti dengan
jelas apa yang mereka katakan, karena kebohongan penuh ambiguitas dan pesan
ketidakpastian.
DAFTAR PUSTAKA
http://jbd.sagepub.com/content/26/5/436.short
http://www.emeraldinsight.com/
0 komentar:
Posting Komentar