Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 11 Juli 2013

PENDEKATAN HOLISTIK DALAM PENDIDIKAN ANAK


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1).
M. Ali, dalam Suparlan, dkk (2008: 22) menyebutkan dua kunci faktor atau persyaratan yang mempengaruhi mutu pendidikan sekolah.
“What makes quality education?Many different elements can be defined that collectively come together to provide the possibility of quality education. In schools there are many factors that can influence standards, but it simplest to think of two key attributes of good schools—namely the curriculum they adopt and the teachers they employ to help deliver these ideas to students”
Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa mutu pedidikan ditentukan oleh semua komponen tersebut (kurikulum dan pendidik atau guru) akan tetapi tidak melupakan komponen pendukung lainnya yang meliputi kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua, masyarakat, dan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar di sekolah.
Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal, dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif yang selalu mempunyai keinginan terus menerus untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu PBM di kelas. Karena dengan peningkatan mutu PBM di kelas, mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu PBM harus selalu dilakukan. (Kunandar, 2010: vi)
Matematika merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupannya se­hari-hari. Misalnya ketika berbelanja maka kita perlu memi­lih dan menghitung jumlah benda yang akan dibeli dan harga yang harus dibayar. Saat akan pergi, kita perlu mengingat arah jalan tempat yang akan didatangi, berapa lama jauhnya, serta memilih jalan yang lebih bisa cepat sampai di tujuan, dll.
Bila kita berpikir tentang matematika maka kita akan mem­bicarakan tentang persamaan dan perbedaan, pengaturan informasi/data, memahami tentang angka, jumlah, pola-pola, ruang, bentuk, perkiraan dan perbandingan.
Pengetahuan tentang matematika sebenarnya sudah bisa diperkenalkan pada anak sejak usia dini (usia lahir-6 tahun). Pada anak-anak usia di bawah tiga tahun, konsep matema­tika ditemukan setiap hari melalui pengalaman bermainnya. Misalnya saat membagikan kue kepada setiap temannya, menuang air dari satu wadah ke wadah lain, mengumpulkan manik-manik besar dalam satu wadah dan manik-manik yang lebih kecil pada wadah yang lain, atau bertepuk tangan mengkuti pola irama. Mengenalkan Konsep matematika dapat dilakukan melalui kegiatan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ada sebagai berikut :
1.         Apakah penerapan model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I Nresep Colomadu Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012?
2.         Apakah model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran untuk pengenalan konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I Ngresep Colomadu, Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012?
C.     Manfaat Penelitian

   Manfaat yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagi guru
            Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya dalam kelas.
2.      Bagi siswa
            Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik belajar matematika.
3.      Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
            Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.




BAB II

 
LANDASAN TEORI

A.       Tinjauan Pustaka
1.      Pemahaman Model kontekstual dengan Pendekatan Holistik
a.       Hakikat Pembelajaran Kontekstual
1)  Hakikat Pembelajaran
            Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik (siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa, 2005). Fontana (dalam, Winataputra, 1993) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Sedangkan belajar menurut Fontana adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar proses pembelajaran bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat internal. Oleh karena pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa prilaku maka pembelajaran selalu terikat tujuan. Atas dasar itu maka terjadinya proses belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran (Winataputra, 1993). Dengan kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila siswa (pebelajar) dapat belajar sesuai dengan tujuan yang dirancang. Sementara itu, Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.
            Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan, sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi individu dengan lingkungan sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber belajar serta sarana dan prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah.
            Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.

2)      Landaan Pembelajaran Kontekstual

Akhir-akhir ini pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak dibicarakan orang. Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang landasan filisofi, landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.
            Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam Sanjaya, 2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologis Giambatista Vico. Menurut Vico mengetahui adalah mengetahui bagaimana membuat sesuatu (dalam Suparno, 1997). Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukan hasil  “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu. Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian bukan dari transfer atau pemberian dari orang lain.
            Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) pertama kali diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John Dewey. Kata Contextual berasal dari kata Contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan demikian Contextual diartikan “yang berhubungan dengan suasana”, sehingga CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks tertentu.
            Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang dekat dengan keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa adalah: Ani membeli 10 buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500 rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?. Contoh di atas akan mampu dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah dibayangkan karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang situasinya sulit dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju bulan dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km, berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?
            Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002). Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1) guru berusaha membawa benda-benda riil yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari, kemudian siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan benda-benda riil tersebut sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya 2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari, dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. 
            Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadinya, sosialnya dan budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan Senduk menyatakan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.
            Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil belajar dapat lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka meninggalkan sekolah. 
            Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu, maka proses pembelajaran akan berlangsung secara bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan “transfer“ pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna dalam kehidupannya.

3)      Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam penerapannya di kelas, pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh komponen pokok pembelajaran yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment) dan refleksi (reflection) (Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di atas.
a).      Konstruktivisme (constructivism)
            Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Depdiknas, 2002). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.
            Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Sebab pengetahuan hanya akan berfungsi apabila dibangun oleh individu itu sendiri. Pengetahuan yang hanya diberikan oleh orang lain tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka penerapan asas konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.
b).      Menemukan (inquiry)
            Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual (Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan hasil dari mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk itu dalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang dapat memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang diinginkan.
            Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan generalisasi, prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses induktif untuk mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.
c).       Bertanya (questioning)
            Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan kegiatan guru untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, memfokuskan perhatian siswa. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau guru dengan siswa.
            Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2005).
d).      Masyarakat Belajar (learning community)
            Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama dengan teman yang lebih dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar (kooperatif) secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke siswa yang belum tahu.
            Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya, 2005). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir, jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat dan minatnya.
e).       Pemodelan (modeling)
            Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005). Dalam pembelajaran kontekstual model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang dimaksud bisa berupa model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar, seperti misalnya cara mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan sebagainya. Perlu disadari bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model bisa berasal dari siswa ahli, bisa juga ahli yang didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru harus pandai-pandai menjadi model (Depdiknas, 2002).
f).       Refleksi (reflection)
            Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran kontekstual, setiap berakhirnya  proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.
g).      Penilaian Autentik (authentic assessment)
            Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari teman sejawat atau orang lain yang terlibat dalam pembelajaran.
            Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah menggunakan tes esai. Tes esai yang autentik adalah tes esai jawaban terbuka di mana siswa mendemonstrasikan kemampuannya untuk; 1) menyebutkan pengetahuan faktual; 2) menilai pengetahuan faktualnya; 3) menyusun ide-idenya; dan 4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren (Marhaeni 2006). Lebih jauh dikatakan bahwa tes esai yang terbuka merupakan asasmen yang baik dan relevan dengan pembelajaran kontekstual karena memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkat yang lebih tinggi atau kompleks dan mampu mengukur kinerja.
            Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ke tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya, yaitu konstruktivis filosofinya, menemukan kegiatan belajarnya, bertanya sebagai strategi, masyarakat belajar dengan pembelajaran kooperatif, model yang bisa ditiru, pengaitan antara pengetahuan sebelumnya dengan dengan pengetahuan yang baru dengan proses refleksi dan penilaian yang sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali pertemuan ketujuh komponen tersebut harus diterapkan, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh guru. Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).
i). Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
ii). Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik.
iii). Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.
iv). Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)
v). Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
vi). Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
vii). Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

3. Pendekatan Holistik
Kalau kita perhatikan kondisi pendidikan nasional di Indonesia, maka kita dapatkan cukup banyak kekurangan yang disebabkan kurang adanya pendekatan holistik.Permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya terdapat pula dalam pendidikan nasional.Oleh sebab itu untuk dapat melakukan pendekatan holistik perlu permasalahan yang ada diatasi dan dihilangkan sebaik mungkin.
Pertama hal itu harus dimulai dengan menetapkan sikap yang mengakui tepatnya pendekatan holistik untuk menjalankan kehidupan masa kini dan yang akan datang. Itu berarti bahwa kita tetap perlu mengusahakan penyempurnaan dari setiap unsur pendidikan nasional. Akan tetapi itu saja tidak cukup dan harus dibarengi dengan usaha menempatkan serta menjalankan setiap bagian secara harmonis satu sama lain sehingga terwujud keseluruhan pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bangsa yang maju dan sejahtera.
Seperti telah menjadi pengetahuan kita bersama pendidikan nasional terbagi dalam pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah.Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya dalam pembentukan kepribadian adalah pendidikan di lingkungan keluarga.Dalam pendekatan holistik terhadap pendidikan nasional harus selalu ada hubungan yang erat antara pendidikan sekolah dan luar sekolah, khususnya pendidikan di lingkungan keluarga.Kedua unsur pendidikan itu harus saling melengkapi dan saling menunjang.
Pendidikan di lingkungan keluarga bersifat amat mendasar karena manusia Indonesia tumbuh sejak lahir di lingkungan itu. Banyak sifat manusia yang sumbernya berada di masa ia berumur kurang dari lima tahun. Pendidikan yang dilakukan orang tua dan anggota keluarga lain terhadap anak besar sekali dampaknya terhadap perkembangan anak itu menjadi manusia dewasa dan seterusnya ketika ia menempuh kehidupan. Oleh sebab itu kita harus memberikan perhatian besar sekali terhadap pelaksanaan pendidikan di lingkungan keluarga di Indonesia.Apalagi sudah nampak sekali bahwa hal ini hingga saat ini kurang berjalan sebagaimana mestinya, bahkan makin lama menjadi makin menurun mutunya disebabkan oleh banyak faktor.Padahal kepribadian manusia, termasuk budi pekertinya, ahlaknya, kondisi mentalnya, terutama ditentukan oleh pendidikan yang dialami sejak kecil di lingkungan keluarga dan bukan karena pendidikan sekolah semata-mata.Dalam pendidikan untuk membentuk kepribadian yang bermutu perlu ada perhatian besar kepada pendidikan agama yang selain memperhatikan faktor ritual juga mendalami ajaran agama secara intensif. Menjadi tantangan bagi kita, terutama ketika memasuki Abad ke 21 yang menuntut mutu kepribadian yang lebih kuat, untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan keluarga-keluarga di Indonesia.
Peran utama hendaknya dilakukan oleh organisasi-organisasi swasta, seperti kumpulan keagamaan, paguyuban, organisasi sosial dan lainnya.Organisasi-organisasi itu hendaknya dapat mempengaruhi para orang tua, terutama yang menjadi anggotanya, untuk selalu memperhatikan mutu pendidikan di lingkungan keluarganya.Sedangkan Pemerintah hanya memainkan peran sebagai fasilitator. Antara lain yang perlu difasilitasi oleh Pemerintah adalah terwujudnya suasana dan kondisi kehidupan yang kondusif untuk pendidikan di lingkungan keluarga. Ini meliputi hal-hal seperti tegaknya kekuasaan hukum, kondisi sosial-ekonomi yang baik termasuk tingkat penghasilan para pegawai dan pekerja, kehidupan yang dinamis tetapi teratur dan tenteram, makin meningkatnya mutu kehidupan politik yang demokratis dan pemeliharaan kesehatan jasmani dan rohani yang meluas.
Kemudian kita perlu memperhatikan pendidikan sekolah.Harus ada penyesuaian organisasi pendidikan sekolah dengan pendekatan holistik.Pertama perlu ada keseimbangan antara pendidikan umum yang memberikan landasan berpikir kepada para pemuda kita dengan pendidikan kejuruan yang menjadikan pemuda kita seorang ahli atau pakar dalam spesialisasi tertentu.Seorang pemuda mula-mula menjalani pendidikan dasar yang meliputi Sekolah Dasar 6 tahun dan Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun.Berdasarkan Undang-undang ada Wajib Belajar agar setiap pemuda Indonesia melaksanakan pendidikan dasar 9 tahun itu secara penuh.Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar memberikan dasar ilmu pengetahuan agar setiap pemuda dapat berkembang ke berbagai kecakapan yang ingin dicapai.Kecakapan atau professi diwujudkan melalui berbagai pendidikan kejuruan yang melintang dari tingkat menengah, ke tingkat akademi hingga tingkat universitas.Karena tidak setiap pemuda tepat atau berkehendak mengikuti pendidikan tinggi, yaitu akademi atau universitas, maka pendidikan kejuruan harus diadakan pula pada tingkat menengah.Dengan begitu seorang pemuda yang selesai menjalankan pendidikan dasar dapat memasuki pendidikan kejuruan pada tingkat menengah.Sedangkan mereka yang ingin memasuki pendidikan tinggi melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum selama 3 tahun dan setelah itu memasuki pendidikan tingkat akademis atau tingkat universitas sesuai dengan kemampuan dan keinginannya. Kepakaran yang diperoleh melalui pendidikan akademis maupun universitas serta pendidikan kejuruan menengah akan menentukan kemampuan bangsa dalam menghadapi berbagai persoalan globalisasi dalam Abad ke 21.
Dalam penyelenggaraan pendidikan diusahakan agar murid dapat mengembangkan pemikiran dan perasaannya sebaik-baiknya sehingga makin mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi.Di samping diusahakan perkembangan murid secara individual juga ditumbuhkan rasa kebersamaan dengan sesama murid dan masyarakat pada umumnya. Dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan ditumbuhkan kesadaran dan pengertian bahwa semua ilmu pengetahuan ada hubungannya satu sama lain karena semua berasal dari kehidupan manusia. Kemudian timbul sikap bahwa semua aspek kehidupan adalah penting dan sebagai manusia yang harus diperhatikan adalah mengerjakan apa saja dengan sebaik-baiknya penuh kesungguh-sungguhan. Sebab hakikatnya pekerjaan tukang sapu tidak kalah penting dan maknanya bagi kehidupan masyarakat dibandingkan pekerjaan seorang menteri negara. Manusia dapat dikatakan unggul kalau ia mampu untuk mengerjakan segala hal yang dihadapinya dengan memberikan hasil sebaik-baiknya.
Namun dalam Abad ke 21 terjadi perubahan dalam peran Guru terhadap murid disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi. Dengan teknologi informasi masa kini dan yang terus berkembang seorang murid dapat menjangkau aneka ragam informasi di seluruh daya capai komputernya.Ini mengubah keadaan lama ketika jangkauan murid adalah terbatas pada ruang kelas atau gedung sekolah.Dengan demikian murid tidak hanya dapat belajar dari gurunya, melainkan juga dari segala sumber yang dapat dicapainya.Berhubung dengan itu terjadi perubahan dalam titik sentral pendidikan sekolah, yaitu yang menjadi titik sentral adalah murid itu sendiri sedangkan guru menjadi fasilitator.Konsekuensi dari perubahan ini adalah perlunya penyediaan teknologi yang memadai, khususnya teknologi informasi, penguasaan bahasa asing dan terutama bahasa Inggeris sejak dini dan persiapan serta pendidikan guru yang berbeda.
Namun ini tidak berarti bahwa peran guru menjadi kurang penting. Guru tetap penting karena sebagai fasilitator ia harus membimbing murid dalam mengusahakan informasi, melakukan seleksi terhadap informasi yang masuk dalam jumlah besar sesuai dengan keperluannya serta menggunakan informasi itu untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi pembentukan dan pendidikan guru harus mengalami perubahan sebagai akibat perubahan peran itu.
Pendidikan sekolah yang bermutu harus menyelenggarakan itu semua dengan baik, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga pendidikan tinggi. Ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia, baik dilihat dari sudut penyediaan dana maupun dalam mengelolanya. Tantangan menjadi lebih berat lagi karena Abad ke 21 mengharuskan setiap bangsa tidak hanya pandai bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga kuat bersaing dengan mereka.

4.      Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika
            Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa masalah dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah kompleks dan dalam seting yang berbeda, seperti masalah pada bidang lain atau masalah di luar sekolah. Begitu pula dalam pembelajaran matematika, siswa kurang mampu menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematika dengan ilmu lainnya. Selain itu, siswa tidak memahami keterampilan-keterampilan dasar yang dimilikinya, karena mereka melihat bahwa pelajaran matematika di sekolah tidak relevan dengan kehidupan di luar sekolah.  Sehingga banyak orang memandang matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal semua orang harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.  
            Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran yang demikian membuat siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak matematika dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual. Pada rambu-rambu kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep matematika dapat dimulai dengan masalah sesuai dengan situasi nyata atau contextual problem (Depdiknas, 2005). Kurikulum ini tampak memberikan kesempatan atau memberikan roh pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika.
            Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman konsep matematika secara mendalam, khususnya membangun kompetensi matematika siswa dalam: 1) memecahkan masalah matematika, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara matematis, 3) melakukan penemuan kembali, dan 4) berpikir kreatif  yang melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi melalui pemikiran divergen (Sudiarta, 2005).
            Pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari siswa akan lebih berkesan bagi siswa dibandingkan dengan pembelajaran di mana materi yang diperoleh bergantung pada informasi dari guru. Dalam pembelajaran kontekstual siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, menemukan sendiri aturan, siswa bebas berdiskusi dengan temannya, siswa bebas bertanya kepada guru serta memungkinkan siswa lebih mudah mengingat urutan materi yang dipelajarinya. Akibatnya pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika akan lebih baik dibandingkan pemahaman konsep hasil informasi dari guru. Disamping itu, melalui pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari siswa akan mendidik siswa untuk dapat menghubungkan antar konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan konsep matematikia dengan ilmu lainnya.
            Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep matematika yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

5. Hakikat Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran matematika
a.                           Pengertian Kualitas Proses Pembelajaran
Menurut Kunandar (2007: 287), pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran dalam KTSP adalah pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, sistem penyampaian dan indikator penyampaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai.
Menurut Dimyati Mudjiono (1999: 297), pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Proses pembelajaran (belajar-mengajar) merupakan suatu kegiatan yang komponennya bekerja sama sejak awal hingga akhir kegiatan. Menurut Sardiman (2004: 15), proses belajar mengajar akan senantiasa merupakan proses interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar, dengan siswa sebagai subjek pokoknya.
Kualitas perlu diperlakukan sebagai dimensi yang berfungsi sebagai tolak ukur dalam kegiatan pengembangan profesi baik yang berkaitan dengan usaha penyelenggaraan pendidikan maupun kegiatan pembelajaran di kelas.
Dari uraian mengenai pengertian kualitas, proses pembelajaran, dan kualitas pembelajaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas proses pembelajaran itu merupakan keefektivan dari sebuah proses pembelajaran (belajar-mengajar) yang ditandai dengan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria dalam standar pendidikan, yang dapat berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses  pembelajaran.
b.                           Indikator Kualitas Proses Pembelajaran
Nana Sudjana (2005: 56) menyatakan bahwa, penilaian kualitas pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hasil semata-mata tetapi juga kepada proses”. Kualitas pembelajaran harus dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Keduanya harus seimbang dalam penilaian kualitas.
Menurut Suparlan (2008: 25), salah satu dimensi yang cukup berpengaruh dalam kualitas pembelajaran adalah proses penyelenggaraan pendidikan terutama adalah proses belajar mengajar di dalam kelas.
Pembelajaran Aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif. Ketika siswa belajar secara aktif, berarti mereka yang mendominasi aktivitas pembelajaran. Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi pembelajaran, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari ke dalam satu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Dengan belajar aktif ini, siswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.
Dari uraian mengenai indikator kualitas proses pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa indikator kualitas pembelajaran meliputi: keaktifan siswa, suasana belajar, alur pembelajaran.
1)   Keaktifan Siswa 
Keaktifan pembelajaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 36) adalah kegiatan, kesibukan dalam bekerja dan berusaha pada siswa. Prinsip dari belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya keaktifan merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar-mengajar. Sebagai rasionalitasnya hal ini juga mendapatkan pengakuan dari berbagai ahli pendidikan.
Sardiman (2001: 93) mengatakan bahwa tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam proses belajar mengajar.
Jenis-jenis aktivitas kegiatan siswa belajar menurut Sardiman (2001: 99)  antara lain: 
a)      Visual activities (keaktifan melihat), misalnya: membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, dan pekerjaan orang lain;
b)      Oral activities (keaktifan langsung), seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi; 
c)      Listening activities (keaktifan mendengarkan), meliputi: uraian, percakapan, diskusi, musik pidato; 
d)     Writing activities (keaktifan menulis), seperti: menulis cerita, karangan, laporan, angket, dan menyalin; 
e)      Drawing activities  (keaktifan menggambar), misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, dan diagram; 
f)       Motor aktivities  (keaktifan motorik), seperti:    melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, dan beternak; 
g)      Mental activities  (keaktifan mental), misalnya: menganggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil keputusan;   
h)      Emosional activities  (keaktifan emosi), seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

c. Penelitian yang Relevan

d. KERANGKA BERFIKIR
1).     Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika peserta didik

Matematika adalah suatu cabang ilmu yang berhubungan atau menelah bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak, dan hubungan diantara struktur-struktur tersebut. Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan struktur-struktur matematika tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara struktur-struktur yang abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika itu sendiri.
            Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep tetapi belajar secara bermakana. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka belajar matematika. Siswa belajar bermakna jika materi dalam pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat dengan keseharian siswa. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang mampu mengaitkan materi yang dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran yang bisa mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan kontekstual.
            Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang studi lain, berfikir logis, kritis (berfikir konvergen), rasional, praktis serta bersifat positif dan kreatif (berfikir divergen). Hal ini jelas merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak bisa dicapai hanya dengan menilai hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa (konvensional).
            Untuk menjawab tuntutan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran yang memungkinkan untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pembelajaran kontekstual, karena fokus pembelajaran kontekstual adalah pada pengaitan materi yang dipelajari siswa dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika, pemahaman konsep matematika, penalaran dan komunikasi matematika, serta koneksi matematika (Mahendra, 2004; Parta, 2004; Sastrini, 2004 dan Suarsana, 2004).
            Penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran (Suherman,  2003). Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran matematika, untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai dengan pembelajaran kontekstual.

e. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1.    “Penerapan  model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I Nresep Colomadu Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012”
2.   “Penerapan model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran untuk pengenalan konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I Ngresep Colomadu, Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012”


separador

1 komentar:

Neng & Teteh mengatakan...

Terima kasih artikelnya, salam kenal dari Admin BLOG SEKOLAH dan ISLAM yang mengulas, Materi Pembelajaran PAUD, Seputar Pendekatan Pendidikan Anak dan banyak yang lain.

Posting Komentar

Followers