|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1).
M. Ali, dalam Suparlan, dkk (2008: 22) menyebutkan dua kunci
faktor atau persyaratan yang mempengaruhi mutu pendidikan sekolah.
“What makes quality education?Many
different elements can be defined that collectively come together to provide
the possibility of quality education. In schools there are many factors that
can influence standards, but it simplest to think of two key attributes of good
schools—namely the curriculum they adopt and the teachers they employ to help
deliver these ideas to students”
Dari kutipan tersebut dapat
diartikan bahwa mutu pedidikan ditentukan oleh semua komponen tersebut
(kurikulum dan pendidik atau guru) akan tetapi tidak melupakan komponen
pendukung lainnya yang meliputi kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua,
masyarakat, dan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar di sekolah.
Untuk mencapai hasil pembelajaran
yang optimal, dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif yang selalu mempunyai
keinginan terus menerus untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu PBM di kelas.
Karena dengan peningkatan mutu PBM di kelas, mutu pendidikan dapat
ditingkatkan. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
PBM harus selalu dilakukan. (Kunandar, 2010: vi)
Matematika
merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dibutuhkan manusia dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Misalnya ketika berbelanja maka kita
perlu memilih dan menghitung jumlah benda yang akan dibeli dan harga yang
harus dibayar. Saat akan pergi, kita perlu mengingat arah jalan tempat yang
akan didatangi, berapa lama jauhnya, serta memilih jalan yang lebih bisa cepat
sampai di tujuan, dll.
Bila kita
berpikir tentang matematika maka kita akan membicarakan tentang persamaan dan
perbedaan, pengaturan informasi/data, memahami tentang angka, jumlah,
pola-pola, ruang, bentuk, perkiraan dan perbandingan.
Pengetahuan tentang matematika sebenarnya sudah bisa
diperkenalkan pada anak sejak usia dini (usia lahir-6 tahun). Pada anak-anak
usia di bawah tiga tahun, konsep matematika ditemukan setiap hari melalui
pengalaman bermainnya. Misalnya saat membagikan kue kepada setiap temannya,
menuang air dari satu wadah ke wadah lain, mengumpulkan manik-manik besar dalam
satu wadah dan manik-manik yang lebih kecil pada wadah yang lain, atau bertepuk
tangan mengkuti pola irama. Mengenalkan Konsep matematika dapat dilakukan
melalui kegiatan sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ada sebagai
berikut :
1.
Apakah penerapan model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk
meningkatkan pemahaman konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK
Islam Bakti I Nresep Colomadu Kabupaten Karaanganyar
Tahun Pelajaran 2011/ 2012?
2.
Apakah model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran untuk pengenalan konsep matematika pada
peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I Ngresep Colomadu, Kabupaten
Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012?
C.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagi guru
Penelitian ini akan memberikan pengalaman yang bermanfaat dalam merancang
pembelajaran kontekstual dan memfasilitasi pembelajaran. Dari pengalaman
tersebut diharapkan guru dapat mengembangkan model pembelajaran, LKS dan sumber
belajar sejenis pada pokok bahasan yang lain dan dapat mengimplementasikannya
dalam kelas.
2.
Bagi siswa
Penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka
terbantu dalam diajar konsep-konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi
siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka secara optimal. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan yang luas
untuk berinteraksi dengan teman-temanya dan materi yang dipelajari dirancang
terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa menjadi lebih tertarik
belajar matematika.
3.
Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan strategi pembelajaran yang
mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari (konteks). Hasil penelitian
ini akan memberikan informasi yang rinci tentang keunggulan dan kelemahan
pendekatan pembelajaran kontekstual yang teruji secara eksperimen.
BAB
II
|
LANDASAN
TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1.
Pemahaman
Model kontekstual dengan Pendekatan Holistik
a.
Hakikat Pembelajaran Kontekstual
1) Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik
(siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa,
2005). Fontana (dalam, Winataputra, 1993) menyebutkan bahwa pembelajaran
adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang
memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar. Sedangkan belajar
menurut Fontana adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai
hasil dari pengalaman. Jadi, bila dilihat dari individu yang belajar proses
pembelajaran bersifat eksternal (datang dari luar) yang sengaja dirancang atau
didesain sehingga bersifat rekayasa, sedangkan proses belajar bersifat
internal. Oleh karena pembelajaran bersifat rekayasa yaitu rekayasa prilaku
maka pembelajaran selalu terikat tujuan. Atas dasar itu maka terjadinya proses
belajar adalah kreteria dasar dari pembelajaran (Winataputra, 1993). Dengan
kata lain pembelajaran dinilai berhasil bila siswa (pebelajar) dapat belajar
sesuai dengan tujuan yang dirancang. Sementara itu, Marhaeni (2006) mengatakan
bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating,
empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi
antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar
tersebut.
Menurut konsep sosiologi pembelajaran adalah rekayasa sosio-psikologi untuk
memelihara kegiatan belajar sehingga tiap individu yang belajar akan belajar
secara optimal dalam mencapai tingkat kedewasaan (Suherman, 1994). Dalam arti
sempit pembelajaran adalah proses pendidikan dalam lingkup persekolahan,
sehingga pembelajaran adalah proses sosialisasi individu dengan lingkungan
sekolah seperti: guru, teman sesama siswa, sumber belajar serta sarana dan
prasarana. Sedangkan pembelajaran menurut konsep komunikasi adalah proses
komunikasi fungsional antara siswa dengan guru serta siswa dengan siswa, dalam rangka
perubahan sikap dan pola pikir (Suherman, 1994). Dalam pembelajaran guru
berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang
dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak
arah dalam pembelajaran peran-peran tersebut bisa berubah.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah
diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya
penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat
eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain
(terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses
belajar.
2)
Landaan Pembelajaran Kontekstual
Akhir-akhir ini pembelajaran
kontekstual merupakan salah satu pembelajaran yang banyak dibicarakan orang.
Ada yang berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual merupakan salah satu
pembelajaran yang dapat diandalkan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Berikut ini akan dijelaskan tentang
landasan filisofi, landasan psikologis dan definisi pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Piaget (dalam
Sanjaya, 2005). Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran
epistimologis Giambatista Vico. Menurut Vico mengetahui adalah mengetahui
bagaimana membuat sesuatu (dalam Suparno, 1997). Artinya, seseorang dikatakan
mengetahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu
tersebut. Filsafat konstruktivisme ini kemudian mempengaruhi tentang konsep
belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal pengetahuan tetapi proses
pengonstruksian pengetahuan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan bukan
hasil “transfer” dari satu orang ke orang lain, tetapi pengetahuan
merupakan hasil dari proses pengonstruksian yang dilakukan secara individu.
Pengetahuan yang bermakna merupakan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pengkonstruksian
bukan dari transfer atau pemberian dari orang lain.
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
pertama kali diajukan pada awal abad 20 di USA oleh tokoh pendidikan John
Dewey. Kata Contextual berasal dari kata Contex yang berarti
“hubungan, konteks, suasana atau keadaan”. Dengan demikian Contextual
diartikan “yang berhubungan dengan suasana”, sehingga CTL dapat diartikan
sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana atau konteks
tertentu.
Dalam pembelajaran matematika, konteks yang dimaksud adalah materi pelajaran
atau soal matematika yang dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata siswa yang
dekat dengan keseharian siswa. Contoh soal yang dekat dengan keseharian siswa
adalah: Ani membeli 10 buah buku tulis di Pasar Marga dengan harga 11.500
rupiah, berapakah harga dua buah buku tulis?. Contoh di atas akan mampu
dikerjakan oleh siswa, serta situasinya mudah dibayangkan karena dekat dengan
kehidupan sehari-hari siswa. Di satu sisi ada soal yang mampu dikerjakan oleh
siswa tetapi situasinya sulit dibayangkan. Contoh soal yang situasinya sulit
dibayangkan oleh siswa adalah: Sebuah satelit terbang dari bumi menuju bulan
dengan kecepatan 700 km/jam. Jika jarak bumi dan bulan adalah 21.000 km,
berapakah waktu yang diperlukan oleh satelit itu untuk sampai di bulan?
Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran di mana guru menghadirkan
dunia nyata ke dalam pembelajarannya dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, serta lebih menekankan pada belajar bermakna (Depdiknas, 2002).
Guru menghadirkan dunia nyata ke dalam pembelajaran dengan cara, seperi: 1)
guru berusaha membawa benda-benda riil yang berhubungan dengan materi yang
sedang dipelajari, kemudian siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan benda-benda riil tersebut sehingga siswa diharapkan
menemukan sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya, atau sebaliknya
2) guru bercerita tentang sesuatu yang relevan dengan materi yang dipelajari,
dari cerita tersebut siswa diharapkan menemukan sendiri konsep yang sedang
dipelajari.
Menurut Johnson (dalam Nurhadi dan Senduk, 2003), sistem CTL merupakan suatu
proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan
pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan kehidupan
mereka sehari-hari, yaitu dengan lingkungan pribadinya, sosialnya dan
budayanya. Lebih Selanjut Nurhadi dan Senduk menyatakan bahwa pengajaran
kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas
dan menerapkan pengetahuan dan ketrampilan akademisnya dalam berbagai latar
sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam
dunia nyata. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual terjadi
ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada
masalah-masalah riil (nyata) yang berasosiasi dengan peran dan tanggung jawab mereka
sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja.
Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa
memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan
masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pembelajaran
kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir
divergen dalam pengumpulan data, pemahaman terhadap isu-isu atau pemecahan
masalah. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa
dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang
mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran kontekstual menekankan pada
bagaimana belajar di sekolah dikaitkan ke dalam situasi nyata, sehingga hasil
belajar dapat lebih diterima dan berguna bagi siswa bilamana mereka
meninggalkan sekolah.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran
kontekstual dalam penelitian ini adalah suatu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep seperti itu, maka proses pembelajaran akan berlangsung secara
bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk
kegiatan bekerja dan mengalami, bukan “transfer“ pengetahuan dari guru ke
siswa. Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran. Dalam
konteks ini, siswa harus sadar tentang makna belajar, apa manfaatnya, dalam
status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Siswa sadar bahwa apa yang mereka
pelajari akan berguna dalam kehidupannya.
3)
Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam penerapannya di kelas,
pembelajaran kontekstual tetap memperhatikan tujuh komponen pokok pembelajaran
yang efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry),
bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling), penilaian autentik (authentic assessment)
dan refleksi (reflection) (Depdiknas, 2002). Berikut ini dijelaskan
masing-masing komponen pokok pembelajaran kontekstual, seperti diungkapkan di
atas.
a).
Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran
kontekstual. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Depdiknas, 2002).
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan ini cara memperoleh
pengetahuan lebih diutamakan dari pada hasil pengetahuan yang diperoleh oleh
siswa. Oleh karena itu tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya dan bukan mentransfer pengetahuan dari guru
kepada siswa.
Pembelajaran kontekstual pada dasarnya mendorong agar siswa dapat
mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman. Sebab
pengetahuan hanya akan berfungsi apabila dibangun oleh individu itu sendiri.
Pengetahuan yang hanya diberikan oleh orang lain tidak akan menjadi pengetahuan
yang bermakna. Atas dasar asumsi itulah, maka penerapan asas konstruktivisme
dalam pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri melalui pengalaman nyata.
b).
Menemukan (inquiry)
Asas kedua dalam pembelajaran kontekstual adalah penemuan. Artinya, proses
pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir
secara sistematis. Menemukan merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran kontekstual
(Depdiknas, 2002). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh siswa bukan
hasil dari mengingat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Untuk
itu dalam pembelajaran kontekstual peran guru adalah merancang kegiatan yang
dapat memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep, prinsip atau ketrampilan yang
diinginkan.
Belajar dengan penemuan guru tidak secara langsung memberikan generalisasi,
prinsip atau kaidah yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam
proses induktif untuk mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian
rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat
kesimpulan.
c).
Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi dalam pembelajaran kontekstual. Pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan
kegiatan guru untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, memfokuskan
perhatian siswa. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, siswa
dengan guru atau guru dengan siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,
akan tetapi memancing agar siswa menemukan sendiri. Oleh karena itu, peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyan-pertanyaan guru dapat
membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep-konsep atau
kaidah-kaidah yang terdapat dalam materi yang dipelajari (Sanjaya, 2005).
d).
Masyarakat Belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar pengetahuan atau hasil
pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan teman sejawat atau kerjasama
dengan teman yang lebih dewasa. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk baik dalam kelompok belajar (kooperatif) secara formal maupun dalam lingkungan
yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman,
antar kelompok dan antar siswa yang tahu ke siswa yang belum tahu.
Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan asas masyarakat belajar dapat
dilakukan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif (Depdiknas, 2002; Sanjaya,
2005). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang
yang anggotanya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan, gaya berpikir,
jenis kelamin, motivasi, ras maupun bakat dan minatnya.
e).
Pemodelan (modeling)
Asas pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai
contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2005). Dalam pembelajaran
kontekstual model keterampilan atau pengetahuan sangat diperlukan. Model yang
dimaksud bisa berupa model proses belajar-mengajar maupun model hasil belajar,
seperti misalnya cara mengoprasikan sesuatu, cara mengerjakan sesuatu dan
sebagainya. Perlu disadari bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah
satu-satunya model. Model bisa berasal dari siswa ahli, bisa juga ahli yang
didatangkan dari luar. Pada pembelajaran kontekstual guru harus pandai-pandai
menjadi model (Depdiknas, 2002).
f).
Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke
belakang tentang apa yang telah dilakukan di masa lalu dan apa yang perlu
dilakukan berikutnya. Menurut Sanjaya (2005) refleksi adalah proses pengendapan
pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali
kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Dalam pembelajaran
kontekstual guru dituntut mampu memfasilitasi siswa membuat hubungan-hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dalam
pembelajaran kontekstual, setiap berakhirnya proses pembelajaran, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali apa yang telah
dipelajari. Siswa diberikan kebebasan menafsirkan pengalamannya sendiri,
sehingga mereka dapat menyimpulkan pengalaman belajarnya.
g).
Penilaian Autentik (authentic assessment)
Penilaian autentik menitik beratkan pada penilaian proses dengan tanpa
mengesampingkan penilaian hasil. Hal ini didasarkan bahwa sebenarnya
pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu
mempelajari materi, tetapi bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi di akhir satuan pembelajaran. Ini berarti informasi dikumpulkan oleh
siswa selama pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Pengumpulan informasi
tersebut tidak saja dari guru, tetapi bisa dari teman sejawat atau orang lain
yang terlibat dalam pembelajaran.
Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah menggunakan tes esai. Tes
esai yang autentik adalah tes esai jawaban terbuka di mana siswa
mendemonstrasikan kemampuannya untuk; 1) menyebutkan pengetahuan faktual; 2)
menilai pengetahuan faktualnya; 3) menyusun ide-idenya; dan 4) mengemukakan
idenya secara logis dan koheren (Marhaeni 2006). Lebih jauh dikatakan bahwa tes
esai yang terbuka merupakan asasmen yang baik dan relevan dengan pembelajaran
kontekstual karena memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkat
yang lebih tinggi atau kompleks dan mampu mengukur kinerja.
Sebuah kelas dikatakan menerapkan pembelajaran kontekstual jika menerapkan ke
tujuh komponen tersebut di atas dalam pembelajarannya, yaitu konstruktivis
filosofinya, menemukan kegiatan belajarnya, bertanya sebagai strategi,
masyarakat belajar dengan pembelajaran kooperatif, model yang bisa ditiru,
pengaitan antara pengetahuan sebelumnya dengan dengan pengetahuan yang baru
dengan proses refleksi dan penilaian yang sebenarnya dalam kegiatan
pembelajaran. Tetapi tidak mutlak setiap kali pertemuan ketujuh komponen
tersebut harus diterapkan, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang
dimiliki oleh guru. Secara garis besar langkah-langkah penerapan pembelajaran
kontekstual di kelas adalah sebagai berikut (Sumadi dkk, 2004; Parwati, 2003).
i). Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
ii). Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan
(inkuri) untuk semua topik.
iii). Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan
bertanya.
iv). Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam
kelompok-kelompok)
v). Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
vi). Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
vii). Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan
berbagai cara.
3.
Pendekatan Holistik
Kalau kita perhatikan kondisi
pendidikan nasional di Indonesia, maka kita dapatkan cukup banyak kekurangan
yang disebabkan kurang adanya pendekatan holistik.Permasalahan yang telah
diuraikan sebelumnya terdapat pula dalam pendidikan nasional.Oleh sebab itu
untuk dapat melakukan pendekatan holistik perlu permasalahan yang ada diatasi
dan dihilangkan sebaik mungkin.
Pertama hal itu harus dimulai dengan
menetapkan sikap yang mengakui tepatnya pendekatan holistik untuk menjalankan
kehidupan masa kini dan yang akan datang. Itu berarti bahwa kita tetap perlu
mengusahakan penyempurnaan dari setiap unsur pendidikan nasional. Akan tetapi
itu saja tidak cukup dan harus dibarengi dengan usaha menempatkan serta
menjalankan setiap bagian secara harmonis satu sama lain sehingga terwujud
keseluruhan pendidikan nasional yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan bangsa
yang maju dan sejahtera.
Seperti telah menjadi pengetahuan
kita bersama pendidikan nasional terbagi dalam pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah.Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya
dalam pembentukan kepribadian adalah pendidikan di lingkungan keluarga.Dalam
pendekatan holistik terhadap pendidikan nasional harus selalu ada hubungan yang
erat antara pendidikan sekolah dan luar sekolah, khususnya pendidikan di
lingkungan keluarga.Kedua unsur pendidikan itu harus saling melengkapi dan
saling menunjang.
Pendidikan di lingkungan keluarga
bersifat amat mendasar karena manusia Indonesia tumbuh sejak lahir di lingkungan
itu. Banyak sifat manusia yang sumbernya berada di masa ia berumur kurang dari
lima tahun. Pendidikan yang dilakukan orang tua dan anggota keluarga lain
terhadap anak besar sekali dampaknya terhadap perkembangan anak itu menjadi
manusia dewasa dan seterusnya ketika ia menempuh kehidupan. Oleh sebab itu kita
harus memberikan perhatian besar sekali terhadap pelaksanaan pendidikan di
lingkungan keluarga di Indonesia.Apalagi sudah nampak sekali bahwa hal ini
hingga saat ini kurang berjalan sebagaimana mestinya, bahkan makin lama menjadi
makin menurun mutunya disebabkan oleh banyak faktor.Padahal kepribadian
manusia, termasuk budi pekertinya, ahlaknya, kondisi mentalnya, terutama
ditentukan oleh pendidikan yang dialami sejak kecil di lingkungan keluarga dan
bukan karena pendidikan sekolah semata-mata.Dalam pendidikan untuk membentuk
kepribadian yang bermutu perlu ada perhatian besar kepada pendidikan agama yang
selain memperhatikan faktor ritual juga mendalami ajaran agama secara intensif.
Menjadi tantangan bagi kita, terutama ketika memasuki Abad ke 21 yang menuntut
mutu kepribadian yang lebih kuat, untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan mutu
pendidikan di lingkungan keluarga-keluarga di Indonesia.
Peran utama hendaknya dilakukan oleh
organisasi-organisasi swasta, seperti kumpulan keagamaan, paguyuban, organisasi
sosial dan lainnya.Organisasi-organisasi itu hendaknya dapat mempengaruhi para
orang tua, terutama yang menjadi anggotanya, untuk selalu memperhatikan mutu
pendidikan di lingkungan keluarganya.Sedangkan Pemerintah hanya memainkan peran
sebagai fasilitator. Antara lain yang perlu difasilitasi oleh Pemerintah adalah
terwujudnya suasana dan kondisi kehidupan yang kondusif untuk pendidikan di
lingkungan keluarga. Ini meliputi hal-hal seperti tegaknya kekuasaan hukum,
kondisi sosial-ekonomi yang baik termasuk tingkat penghasilan para pegawai dan
pekerja, kehidupan yang dinamis tetapi teratur dan tenteram, makin meningkatnya
mutu kehidupan politik yang demokratis dan pemeliharaan kesehatan jasmani dan
rohani yang meluas.
Kemudian kita perlu memperhatikan
pendidikan sekolah.Harus ada penyesuaian organisasi pendidikan sekolah dengan
pendekatan holistik.Pertama perlu ada keseimbangan antara pendidikan umum yang
memberikan landasan berpikir kepada para pemuda kita dengan pendidikan kejuruan
yang menjadikan pemuda kita seorang ahli atau pakar dalam spesialisasi
tertentu.Seorang pemuda mula-mula menjalani pendidikan dasar yang meliputi
Sekolah Dasar 6 tahun dan Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun.Berdasarkan Undang-undang
ada Wajib Belajar agar setiap pemuda Indonesia melaksanakan pendidikan dasar 9
tahun itu secara penuh.Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar memberikan dasar
ilmu pengetahuan agar setiap pemuda dapat berkembang ke berbagai kecakapan yang
ingin dicapai.Kecakapan atau professi diwujudkan melalui berbagai pendidikan
kejuruan yang melintang dari tingkat menengah, ke tingkat akademi hingga
tingkat universitas.Karena tidak setiap pemuda tepat atau berkehendak mengikuti
pendidikan tinggi, yaitu akademi atau universitas, maka pendidikan kejuruan
harus diadakan pula pada tingkat menengah.Dengan begitu seorang pemuda yang
selesai menjalankan pendidikan dasar dapat memasuki pendidikan kejuruan pada
tingkat menengah.Sedangkan mereka yang ingin memasuki pendidikan tinggi
melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum selama 3 tahun dan setelah itu memasuki
pendidikan tingkat akademis atau tingkat universitas sesuai dengan kemampuan
dan keinginannya. Kepakaran yang diperoleh melalui pendidikan akademis maupun
universitas serta pendidikan kejuruan menengah akan menentukan kemampuan bangsa
dalam menghadapi berbagai persoalan globalisasi dalam Abad ke 21.
Dalam penyelenggaraan pendidikan
diusahakan agar murid dapat mengembangkan pemikiran dan perasaannya
sebaik-baiknya sehingga makin mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi.Di samping diusahakan perkembangan murid secara individual juga
ditumbuhkan rasa kebersamaan dengan sesama murid dan masyarakat pada umumnya.
Dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan ditumbuhkan kesadaran dan
pengertian bahwa semua ilmu pengetahuan ada hubungannya satu sama lain karena
semua berasal dari kehidupan manusia. Kemudian timbul sikap bahwa semua aspek
kehidupan adalah penting dan sebagai manusia yang harus diperhatikan adalah mengerjakan
apa saja dengan sebaik-baiknya penuh kesungguh-sungguhan. Sebab hakikatnya
pekerjaan tukang sapu tidak kalah penting dan maknanya bagi kehidupan
masyarakat dibandingkan pekerjaan seorang menteri negara. Manusia dapat
dikatakan unggul kalau ia mampu untuk mengerjakan segala hal yang dihadapinya
dengan memberikan hasil sebaik-baiknya.
Namun dalam Abad ke 21 terjadi
perubahan dalam peran Guru terhadap murid disebabkan oleh perkembangan
teknologi informasi. Dengan teknologi informasi masa kini dan yang terus
berkembang seorang murid dapat menjangkau aneka ragam informasi di seluruh daya
capai komputernya.Ini mengubah keadaan lama ketika jangkauan murid adalah
terbatas pada ruang kelas atau gedung sekolah.Dengan demikian murid tidak hanya
dapat belajar dari gurunya, melainkan juga dari segala sumber yang dapat
dicapainya.Berhubung dengan itu terjadi perubahan dalam titik sentral
pendidikan sekolah, yaitu yang menjadi titik sentral adalah murid itu sendiri
sedangkan guru menjadi fasilitator.Konsekuensi dari perubahan ini adalah
perlunya penyediaan teknologi yang memadai, khususnya teknologi informasi,
penguasaan bahasa asing dan terutama bahasa Inggeris sejak dini dan persiapan
serta pendidikan guru yang berbeda.
Namun ini tidak berarti bahwa peran
guru menjadi kurang penting. Guru tetap penting karena sebagai fasilitator ia
harus membimbing murid dalam mengusahakan informasi, melakukan seleksi terhadap
informasi yang masuk dalam jumlah besar sesuai dengan keperluannya serta
menggunakan informasi itu untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi pembentukan
dan pendidikan guru harus mengalami perubahan sebagai akibat perubahan peran
itu.
Pendidikan sekolah yang bermutu
harus menyelenggarakan itu semua dengan baik, mulai dari Taman Kanak-Kanak
hingga pendidikan tinggi. Ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia, baik
dilihat dari sudut penyediaan dana maupun dalam mengelolanya. Tantangan menjadi
lebih berat lagi karena Abad ke 21 mengharuskan setiap bangsa tidak hanya
pandai bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga kuat bersaing dengan
mereka.
4.
Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika
Knapp & Schell (dalam Depdiknas, 2005) mengidentifikasi beberapa masalah
dalam pembelajaran, antara lain bahwa peserta didik kesulitan dalam menerapkan
pengetahuannya untuk memecahkan masalah-masalah kompleks dan dalam seting yang
berbeda, seperti masalah pada bidang lain atau masalah di luar sekolah. Begitu
pula dalam pembelajaran matematika, siswa kurang mampu menghubungkan antar
konsep dalam matematika, menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan
sehari-hari dan menghubungkan konsep matematika dengan ilmu lainnya. Selain
itu, siswa tidak memahami keterampilan-keterampilan dasar yang dimilikinya,
karena mereka melihat bahwa pelajaran matematika di sekolah tidak relevan
dengan kehidupan di luar sekolah. Sehingga banyak orang memandang
matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, padahal semua orang
harus mempelajari matematika karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan
sehari-hari.
Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini di sekolah adalah
pembelajaran konvensional yang bersifat teoritik dan mekanistik serta jarang
mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa. Tentunya pembelajaran
yang demikian membuat siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu
tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami.
Sesungguhnya matematika muncul dari kehidupan nyata sehari-hari. Sebagai
contoh, bangun ruang dan datar pada dasarnya didapat dari benda-benda kongkrit
dengan melakukan proses abstraksi dari benda-benda nyata. Oleh karena itu,
proses pembelajaran matematika harus dapat menghubungkan antara ide abstrak
matematika dengan situasi dunia nyata yang pernah dialami ataupun yang pernah
dipikirkan siswa. Pembelajaran yang dapat menghubungkan ide abstrak matematika
dengan situasi dunia nyata adalah pemelajaran kontekstual. Pada rambu-rambu
kurikulum mata pelajaran matematika disebutkan bahwa untuk mengajarkan konsep
matematika dapat dimulai dengan masalah sesuai dengan situasi nyata atau contextual
problem (Depdiknas, 2005). Kurikulum ini tampak memberikan kesempatan
atau memberikan roh pada penggunaan dan penerapan pembelajaran kontekstual
dalam pembelajaran matematika.
Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan ruang yang
cukup bagi siswa untuk membangun dan mengembangkan pemahaman konsep matematika
secara mendalam, khususnya membangun kompetensi matematika siswa dalam: 1)
memecahkan masalah matematika, 2) berargumentasi dan berkomunikasi secara
matematis, 3) melakukan penemuan kembali, dan 4) berpikir kreatif yang
melibatkan imajinasi, intuisi, penemuan dan generalisasi melalui pemikiran
divergen (Sudiarta, 2005).
Pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-sehari
siswa akan lebih berkesan bagi siswa dibandingkan dengan pembelajaran di mana
materi yang diperoleh bergantung pada informasi dari guru. Dalam pembelajaran
kontekstual siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, menemukan sendiri
aturan, siswa bebas berdiskusi dengan temannya, siswa bebas bertanya kepada
guru serta memungkinkan siswa lebih mudah mengingat urutan materi yang
dipelajarinya. Akibatnya pemahaman siswa tentang suatu konsep matematika akan
lebih baik dibandingkan pemahaman konsep hasil informasi dari guru. Disamping
itu, melalui pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari
siswa akan mendidik siswa untuk dapat menghubungkan antar konsep dalam matematika,
menghubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari dan menghubungkan
konsep matematikia dengan ilmu lainnya.
Bedasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran matematika adalah suatu konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan materi-materi atau konsep-konsep matematika yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
5.
Hakikat Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran matematika
a.
Pengertian
Kualitas Proses Pembelajaran
Menurut Kunandar (2007:
287), pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran dalam KTSP
adalah pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan
dicapai oleh siswa, sistem penyampaian dan indikator penyampaian hasil belajar
dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai.
Menurut Dimyati
Mudjiono (1999: 297), pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada
penyediaan sumber belajar.
Proses pembelajaran
(belajar-mengajar) merupakan suatu kegiatan yang komponennya bekerja sama sejak
awal hingga akhir kegiatan. Menurut Sardiman (2004: 15), proses belajar
mengajar akan senantiasa merupakan proses interaksi antara dua unsur manusiawi,
yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar,
dengan siswa sebagai subjek pokoknya.
Kualitas perlu
diperlakukan sebagai dimensi yang berfungsi sebagai tolak ukur dalam kegiatan
pengembangan profesi baik yang berkaitan dengan usaha penyelenggaraan
pendidikan maupun kegiatan pembelajaran di kelas.
Dari
uraian mengenai pengertian kualitas, proses pembelajaran, dan kualitas
pembelajaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas proses pembelajaran
itu merupakan keefektivan dari sebuah proses pembelajaran (belajar-mengajar)
yang ditandai dengan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
sesuai dengan kriteria dalam standar pendidikan, yang dapat berupa peningkatan
pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses pembelajaran.
b.
Indikator
Kualitas Proses Pembelajaran
Nana Sudjana (2005: 56)
menyatakan bahwa, penilaian kualitas pembelajaran tidak hanya berorientasi pada
hasil semata-mata tetapi juga kepada proses”. Kualitas pembelajaran harus
dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Keduanya harus seimbang dalam
penilaian kualitas.
Menurut Suparlan (2008: 25), salah satu dimensi yang cukup
berpengaruh dalam kualitas pembelajaran adalah proses penyelenggaraan
pendidikan terutama adalah proses belajar mengajar di dalam kelas.
Pembelajaran
Aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif.
Ketika siswa belajar secara aktif, berarti mereka yang mendominasi aktivitas
pembelajaran. Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk
menemukan ide pokok dari materi pembelajaran, memecahkan persoalan, atau
mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari ke dalam satu persoalan yang ada
dalam kehidupan nyata. Dengan belajar aktif ini, siswa akan merasakan suasana
yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.
Dari
uraian mengenai indikator kualitas proses pembelajaran, maka dapat disimpulkan
bahwa indikator kualitas pembelajaran meliputi: keaktifan siswa, suasana
belajar, alur pembelajaran.
1)
Keaktifan
Siswa
Keaktifan pembelajaran
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 36) adalah kegiatan, kesibukan dalam
bekerja dan berusaha pada siswa. Prinsip dari belajar adalah berbuat, berbuat
untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau
tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya keaktifan merupakan prinsip atau asas yang
sangat penting di dalam interaksi belajar-mengajar. Sebagai rasionalitasnya hal
ini juga mendapatkan pengakuan dari berbagai ahli pendidikan.
Sardiman (2001: 93)
mengatakan bahwa tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Hal tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di
dalam proses belajar mengajar.
Jenis-jenis aktivitas
kegiatan siswa belajar menurut Sardiman (2001: 99) antara lain:
a)
Visual activities
(keaktifan melihat), misalnya: membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi,
percobaan, dan pekerjaan orang lain;
b)
Oral activities
(keaktifan langsung), seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi;
c)
Listening activities
(keaktifan mendengarkan), meliputi: uraian, percakapan, diskusi, musik
pidato;
d)
Writing activities
(keaktifan menulis), seperti: menulis cerita, karangan, laporan, angket, dan
menyalin;
e)
Drawing activities (keaktifan menggambar), misalnya: menggambar,
membuat grafik, peta, dan diagram;
f)
Motor aktivities (keaktifan motorik), seperti: melakukan percobaan, membuat konstruksi,
model mereparasi, bermain, berkebun, dan beternak;
g)
Mental activities (keaktifan mental), misalnya: menganggap,
mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil
keputusan;
h)
Emosional activities (keaktifan emosi), seperti: menaruh minat,
merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
c. Penelitian yang Relevan
d. KERANGKA BERFIKIR
1).
Hubungan antara pendekatan pembelajaran dengan prestasi belajar matematika
peserta didik
Matematika adalah suatu cabang ilmu
yang berhubungan atau menelah bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak, dan
hubungan diantara struktur-struktur tersebut. Belajar matematika adalah belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam
materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antar konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika tersebut. Untuk dapat memahami hubungan antara
struktur-struktur yang abtrak tersebut diperlukan pemahaman konsep-konsep yang
terdapat di dalam matematika itu sendiri.
Belajar matematika tidak hanya sekadar belajar tentang konsep-konsep tetapi
belajar secara bermakana. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka
belajar matematika. Siswa belajar bermakna jika materi dalam pembelajarannya
dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat dengan keseharian siswa. Untuk itu
diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang mampu mengaitkan materi yang
dipelajari siswa dengan kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan pembelajaran
yang bisa mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa adalah pendekatan
kontekstual.
Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar
dapat menggunakan matematika dan pola fikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan
itu siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan
persoalan dalam kehidupan sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami
bidang studi lain, berfikir logis, kritis (berfikir konvergen), rasional,
praktis serta bersifat positif dan kreatif (berfikir divergen). Hal ini jelas
merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak bisa dicapai hanya dengan
menilai hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses
pembelajaran biasa (konvensional).
Untuk menjawab tuntutan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi
serta proses pembelajaran yang sesuai. Pembelajaran yang memungkinkan untuk
mencapai hal tersebut adalah melalui pembelajaran kontekstual, karena fokus
pembelajaran kontekstual adalah pada pengaitan materi yang dipelajari siswa
dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendekatan kontekstual dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika, pemahaman konsep matematika, penalaran
dan komunikasi matematika, serta koneksi matematika (Mahendra, 2004; Parta,
2004; Sastrini, 2004 dan Suarsana, 2004).
Penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu
mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran (Suherman,
2003). Demi peningkatan optimalisasi interaksi dalam pembelajaran matematika,
untuk pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu mungkin dapat dicapai
dengan pembelajaran kontekstual.
e.
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka
berpikir yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut:
1. “Penerapan
model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan
pemahaman konsep matematika pada peserta didik kelompok B, TK Islam Bakti I
Nresep Colomadu Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/ 2012”
2. “Penerapan
model kontekstual dengan pendekatan holistik sesuai untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran untuk pengenalan konsep matematika pada peserta didik kelompok B,
TK Islam Bakti I Ngresep Colomadu, Kabupaten Karaanganyar Tahun Pelajaran 2011/
2012”
1 komentar:
Terima kasih artikelnya, salam kenal dari Admin BLOG SEKOLAH dan ISLAM yang mengulas, Materi Pembelajaran PAUD, Seputar Pendekatan Pendidikan Anak dan banyak yang lain.
Posting Komentar